Playlist 20

Jumat, 17 Oktober 2014

Masa Ini


kita ada disini,
dikeadaan yang membuat cinta bisa saja memalingkan muka.
saat dimana harapan bisa saja tak lagi diacuhkan.
kisah kasih yang setiap saat bisa tersisih.
atau untaian kata puji yang yang akan diganti dicaci-maki.

sebegitu mudahkah semua itu berubah?
atau dari awal kesanalah kita mengarah?
hanya kitakah yang kalah?
atau, kita sudah tak perduli dengan apa yang dulu kita yakini?

kata mereka hidup itu tak mudah.
aku berkata kalau cinta tidaklah mudah perkaranya.
kau pernah mengucap bahwa cepat atau lambat otak akan mencapai titik lupa.
dan entah sadar atau tidak, kamu ataukah aku yang berjalan menjauh atau bahkan masih saja menikmati.

Sampai disini, atau akan kita lanjutkan nanti.


Banjarmasin, 17 Oktober 2014

Kamis, 16 Oktober 2014

Pilihan dan Pilihlah

Banyak pilihan selain bersembunyi di gelap malam.
Banyak jalan selain kebuntuan yang dipijak oleh kaki saat ini.
Banyak harapan selain khayalan yang penuhi otak seorang pemimpi.
Masih banyak keindahan selain kerusakan yang penuhi alam ibu pertiwi.

Mengapa kita masih bersembunyi?
Mengapa kita berhenti?
Mengapa kita tak berani berharap?
dan mengapa kita selalu meratap bukannya mencoba menatap?

Pahitkah itu, 
Maniskah itu,
Bahagia, atau menderitakah nanti kita?!
Apa masih terdengar ronta cibiran dari mulut mereka?

Banjarmasin, 16 Oktober 2014

Selasa, 07 Oktober 2014

Alter Ego

Inikah dunia yang mereka sebut nyata.
Ketika kehilanganmu, kurasakan dera luka terkejam berupa penyesalan.
Pantaslah disebut curang, jikalau aku menyimpan dendam. Meski pada lelaki yang bisa membuatmu tertawa riang.
Sentum itu seharusnya ciptaku.
Senyum itu seharusnya untukku.
Senyum itu mestinya milikku.
Bahagia itu lebih sempurna jika denganku

Banjarmasin, 22 September 2014

Kali ini bukanlah ego diri sendiri.
Juga bukan melawan kehendak pemilik bumi.
Aku hanyalah sekedar menyatakan akan apa yang seharusnya kunyatakan.
Tentang impian yang dikhianati kenyataan.
Tulisan ini bukanlah perwakilan dari apa yang dirasakan.
Tapi sebuah harapan, serupa doa yang selalu dipanjatkan.
Tentang betapa tersiksanya aku tanpa cahayamu.

dilanjutkan di Batulicin, 7 Oktober 2014

Minggu, 21 September 2014

Refleksi (Pantulan)

Tidak akan bisa seseorang merasakan kehangatan jika ia belum pernah merasakan rasa dingin.
Begitu pula dikebalikannya.

Tidak akan bisa seseorang menggunungkan keyakinan jika ia belum pernah dihantam ombak keraguan.
Begitu pula dikebalikannya.

Tidak akan bisa seseorang menyerukan kebebasan jika ia belum pernah didakwa dalam suatu kungkungan.
Begitu pula dikebalikannya.

Tidak akan bisa seseorang mengagungkan kepercayaan jika ia belum pernah dikucilkan dalam suatu pengkhianatan.
Begitu pula dikebalikannya.

Tidak akan bisa seseorang ingin mempunyai satu lagi kesempatan jika ia belum pernah menyiakan disalah satu celahnya.
Bukanlah kebalikannya yang kupermasalahkan, tetapi...
Akulah yang telah membuktikannya.

Banjarmasin, 21 September 2014

Rabu, 03 September 2014

Sedikit Waktumu

Bolehkah aku meminta sedikit waktumu?
Hanya sedikit, dari sekian banyak waktu yang kau punya dan mungkin hanya untuknya.
Entah untuk apa aku memintanya.
Mungkin sebagai pembuka salam dari khalayak rindu.
Bisa saja hanya basa-basi belaka.
Apa yang kusampaikan padamu nanti sudah pasti bukanlah omong kosong atau serupa tong yang melompong.
Sebab hanya sedikit waktu yang kupunya, itupun jika kau memberikannya.
Andai masih ada waktu yang tersisa.
Maka barisan kata, berantai dan akan terangkai menjadi kalimat yang kuuntai.
Meski hanya sedikit waktu yang kupunya, itupun jika kau mengijinkannya.
Jika ada waktu yang tersisa, terimalah rangkaian kata.
Tanpa sedikitpun cemar dusta, atau setan yang menggoda.
Jangan pernah padam cahayaku...
Jangan pernah pergi pelangiku...
Walaupun hanya sekedar gambaran sang mentari yang datang silih berganti kala malam dan pagi.
Namun ia khianat kala awan mendung datang dan menari.
Aku disini, dengan sedikit waktu yang kau beri.

Banjarmasin, 3 September 2014

Selasa, 02 September 2014

Saya dan Pagi yang Terlupa

Beberapa diantara kita pastilah pernah, bahkan lumrah.
Menghabiskan waktu tidur hanya untuk termangu.
Menggeser pagi ke saat mentari sebentar lagi pergi.
Tak memperdulikan embun yang menetes di daun tapi malah dengan mimpi berkerumun.
Hampir lupa rasa segarnya mandi pagi, hanya ingat betapa khidmat prosesi mengantar mentari.
Saat tiang listrik berdentang-dendang sebab pukulan penjaga malam, saat itulah benak mulai menerawang.
Menatap bayang yang berkelebat saat makhluk malam saling mengumpat.
Tertusuk dingin yang setubuhi terhempas gelap berteman sunyi.
Bagaimana bisa aku bermimpi indah dimalam hari jika mimpiku itu telah lama pergi?
Bagaimana bisa aku begitu bersemangat menapak harapan jika semangatku telah dipadamkan kenyataan? dan
Bagaimana bisa aku bersuka cita jika pagiku telah lama terlupa?

Banjarmasin, 2 September 2014

Minggu, 24 Agustus 2014

Malam Berbincang pada Pagi

Tetaplah disini dan jangan pergi lagi...
Satu kalimat yang pernah kuucapkan namun tidak bisa kita wujudkan...
Kau pergi dan harapku pun bersemi...
Selalu kukatakan, kalimat demi kalimat layaknya doa kulantunkan...
Setiap pagi belum tentu sudah kupanen mimpi...
Mata tidaklah terpejam, khayalan beruntun berdatangan...
Ya... Aku membayangkan kau hadir disini...
Saling menatap mata dan semakin erat kita bergenggaman tangan...
Sampai kapankah malam berlalu seperti ini...???
Seakan tak bosan, malam hingga pagi berteman dengan khayalan...
Sampai kapan alasan masih tetap terpatri...???
Pengganti kata ego yang kau terus saja sebut sebagai alasan...


Banjarmasin, 24 Agustus 2014

Sabtu, 23 Agustus 2014

Tempat yang Dulu kau Datangi

Tempat ini sudahlah tidak asing lagi bagiku...
Tentu juga bagimu...
Disinilah tempat dimana kita pertama dan terbiasa melantunkan syair kerinduan...
Yang setiap lariknya kau isi dengan nada indah, selalu bertumpah ruah...
Di tempat inilah, dimana pertama kali kau tanamkan perasaan sayang serta kau taburi pupuk kedamaian...
Di tempat inilah, kini sudah menjulang tinggi, teduh pohon asa kita berupa impian...
Tempat ini kini sepi...
Menjelma menjadi sunyi bak malam gelap tanpa sinar rembulan setelah kau pergi...
Hanya aku yang kini berada disini...
Duduk bersila dengan wajah menunduk tak berdaya...
Tempat ini kini tak teduh lagi...
Sebab teduhnya ranting mimpi tak tumbuh lagi tanpa pupuk yang dulu kau taburi...
Di tempat ini kini aku sendiri...
Masih ingatkah kau tempat ini?
Dulunya, tempat ini sering kita sebut dengan HATI...

Banjarmasin, 23 Agustus 2014

Minggu, 03 Agustus 2014

Bukankah Kita...

Bukankah kita sudah terlalu terbiasa akan tekanan keadaan yang sering kita panggil dengan kenyataan?
Bukankah kita sudah terlalu terbiasa menjalani kejanggalan sebuah sapaan setiap harinya?
Bukankah kita sudah terlalu terbiasa melihat dan kemudian berpura-pura buta dan memalingkan muka?
Bukankah kita sudah terlalu terbiasa melangkahkan kaki dan kemudian berhenti tepat sebelum kaki menjadaptkan pijakan?
Bukankah kita sudah terlalu terbiasa menampar dengan tangan kiri dan kemudian mendaratkan pukulan di wajah kita sendiri?
Bukankah kita sudah terlalu terbiasa membuat orang lain menangis tanpa sadar bahwa air mata yang menetes sudahlah tidak asing lagi?
Bukankah kita sudah terlalu terbiasa berlari dari tempat semula kita berdiri, tersesat lalu tanpa sadar sudah kembali berdiri di awal permulaan kita berlari?
dan bukankah kita sudah terlalu terbiasa seperti ini?


Batulicin, 3 Agustus 2014

Rabu, 09 Juli 2014

dan pada akhirnya...

dan pada akhirnya...
Seorang bayi prematur tidak akan lagi memerlukan inkubator...

dan pada akhirnya...
Anak kecil akan menanggalkan satu dari tiga rodanya untuk bersepeda...

dan pada akhirnya...
Si cengeng akan berubah garang sebab suatu desakan...

dan pada akhirnya...
Sang gagap akan berteriak lantang dihadapan sebuah kepentingan...

dan pada akhirnya...
Pecundang yang selalu takut akan berdiri di garis paling depan suatu medan peperangan...

dan pada akhirnya...
Singgasana sang rezim tak akan lagi berkuasa sebab si bapak tak lagi sanggup melawan usia...

dan pada akhirnya...
Raungan kekuasaan si raja hutan hanya akan menjadi musik latar suatu sirkus belaka...

dan pada akhirnya...
Sesuatu yang penting akan terlupa sebab ada suatu kepentingan yang lainnya...

dan pada akhirnya...
Seorang koruptor tak akan lagi bisa berjaya dan hanya bisa meringkuk di balik penjara...

dan pada akhirnya...
Kau, yang kudambakan akan menghilang sebab aku tak lagi diperlukan...


Banjarmasin, 09 Juli 2014

Selasa, 08 Juli 2014

Beri Judul Sendiri

Pilihan sebenarnya hanyalah dua...
melangkah dan terus maju ataukah berubah arah, mundur dan memalingkan wajah...
tapi aku terhenti, diantara dua pilihan itu...
tak ada kata maju atau berpaling dari arah yang dituju...
seakan tahu atau juga tak mau tahu dengan kenyataan dan apa kata orang...
aku terhenti diantara dua langkah yang salah satunya seharusnya sudahlah ku jamah...
memainkan arah tanpa tahu kemana mata angin terarah...
satu hal yang selalu saja datang dan berjejal...
aku selalu menikmati dan terus saja menjalani...
aku bertaruh pada genangan keruh...
menitikkan air yang kuharap suatu saat nanti akan deras mengalir...
menanti hasil dari sesuatu yang dianggap mustahil...
memilin kaca dan merajut cerita bersama bayangnya...

Banjarmasin, 08 Juli 2014

Senin, 16 Juni 2014

Akankah Padam?

Api itu mulai padam...
Api itu akan segera padam...
Hangat yang mulai menyerah pada dingin malam...
Cahaya dari onggokan bara yang mulai redup dan mulai menghilang...
Tanpa hembus angin kehidupan yang kini tidaklah lagi dapat dirasakan...
Api itu tentu akan padam...
Api itu akan segera padam...
Jika hembusan tak lagi ia dapatkan...

Banjarmasin, 16 Juni 2014

Senin, 02 Juni 2014

Ilalangku

Kami mungkin hanyalah rumpun yang tak dianggap...
Tanpa dirawat...
Tak juga pernah diberi campuran pupuk yang pekat...
Kami mungkin tumbuh liar...
Tapi lebih subur diantara rerumpunan serupa belukar...
Bahkan kadang, rasa iri menyerang dan meradang...
Hingga dengan pestisida kami terbiasa berteman...
Tak hanya dengan akar kami kuatkan...
Mati satu maka tumbuhlah seribu...
Diantara rerumpunan lain...
Janganlah pernah terfikir tuk layu...
Satu diantara seribu...
Tetaplah subur ILALANGKU...


Banjarmasin, 11 Mei 2014

Sajak Kopiku

Kopiku...
Terasa pahit sebab campuran sedikit gula...
Seduhan didih air tanpa dosa...
Campuran sedikit butir pemanis tidaklah banyak artinya...

Kopiku...
Komposisi pas wakili jalan kerikil nan berbatu...
Jalanan lurus kini hanya tersisa lubang aspal tak terurus...

Kopiku...
Perwakilan cinta dan rindu yang teraduk jadi satu...


Banjarmasin, 10 Mei 2014

Tentang Arti Sebuah Senja

Senja bukanlah sekedar jingga yang terpantul sebab cahaya...
Tapi senja, adalah satu keikhlasan mentari yang bersinar sedari tadi pagi...
Sebab dengan segera ia akan digantikan tentramnya sinar sang rembulan sewaktu malam mulai temaram...

Jika terlintas satu kata untuk menggambarkan...
Keindahanlah yang akan kau temukan...

Senja di Gubuk Risa, 31 Mei 2014

Sabtu, 17 Mei 2014

Awan Hitam Sang Ibukota

Siapa sangka?
Di tempat ini kami dulu berlomba lari.
Di tempat ini dulu layang-layang membumbung tinggi.
Di tempat ini biasa kami habiskan semata menatap langit yang berseri.
Dan ditempat ini, bundle cerita kami jilid dengan rapi.

Mentari menyalak dari atas sana.
Cuaca berontak tidaklah lagi bisa diterka.
Nyanyian burung kini tak lagi pernah tersua di telinga.
Tempat ini tak lagi bisa disebut surga.

Saat itu gemuruh awan berubah dan siap sigap untuk memburu.
Memburu lestari indah alamku.
Awan biru itu kini berubah menjadi kelabu.
Tinggallah mimpi tentang surga kami yang kini terlampau indah, dulu.

Banjarmasin, 30 April 2014


Vukalus

Rabu, 02 April 2014

Dua Beda "Benci dan Cinta"

Benci dan cinta tidaklah jauh berbeda.
Bahkan bagiku keduanya hampir serupa.
Adakala saat seseorang pria selalu memperhatikan gerak-gerik lawan jenisnya,
lalu tanpa sadar tersenyum karenanya...
Itulah Cinta.
Adapula seorang gadis yang terlalu merasa risih akan orang yang memperhatikannya,
sampai pada suatu waktu ia telah khatam tempat dan waktu itu...
Bisakah kita sebut benci?
Ataukah ia sangat menikmati?
Pernah juga ada saat dimana sepasang kekasih haruslah berakhir pada titik yang sama sekali tidak terfikir,
baik oleh otak maupun hati nurani...
Apakah karena Benci?
Ataukah disebabkan esensi dari cinta mereka yang terlalu tinggi?
Saya pernah membayangkan suatu saat dimana seseorang selalu memperhatikan gerak-gerik orang yang selalu diamatinya.
Apakah itu cinta?
Ataukah hanya sebatas strategi atau bahkan sekedar basa-basi tentang bagaimana nanti memukul jatuh lawan saingnya?
Dan pada akhirnya, jawaban selalu saja tertumpuk pada diri kita.
Bagaimanakah benci...
Bagaimanakah cinta...
Seperti apa benci...
Seperti apa cinta...
Seindah bagaimanakah benci...
Seburuk apakah cinta...
Akankah ada cerita tentang benci...
Akankah musnah cerita tentang cinta...
Aku menikmati semuanya...

Banjarmasin, 2 April 2014

Selasa, 01 April 2014

Tentang Sebuah Jawaban

Seringkali begitu banyak pertanyaan yang bersemayam dalam pikiran.
Padahal, cukup satu jawaban yang kubutuhkan.
Tapi, pertanyaan itu kini kembali datang.
Lalu-lalang pergi lalu datang tertumpuk di draft pertanyaan.
Hampir bersamaan, perasaanku perlahan mulailah tak tenang.
Ketidaktenangan yang setiap detiknya menambah kebingungan.
Otakku sesak... mencari jawaban dari setiap pertanyaan.
Tapi kalaku semakin memikirkan... maka semakin jauh aku akan jawaban.
Jawaban atas semua pertanyaanku telah hilang.
Jawaban atas semua pertanyaan yang kini tak lagi bisa kutemukan.
Kakiku lemah seakan tak lagi sanggup berjalan.
Tanganku tak lagi sanggup untuk hanya sekedar menggenggam.
Nafasku terengah... meski kini aku terkungkung dalam diam.
Jawaban atas semua pertanyaanku kini telah hilang.
Tak ada lagi yang bisa menjawab semua, yang mereka sebut dengan pertanyaan.
Jawaban atas semua pertanyaanku telah hilang.
Jawaban atas semua pertanyaan yang kini tak lagi bisa kutemukan.
Jawaban, yang walau hanya satu... tapi bisa menjawab semua pertanyaan.

Mandiangin, 29 Maret 2014

Taman Hutan Raya Sultan Adam (mandiangin, Repeater)

Pendapat belum tentu semuanya benar. Ya, Saya masih percaya hal itu. Buktinya? Ada satu pendapat orang tentang akhir pekan. "Akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk bersantai". Tidak sepenuhnya benar, tidak sepenuhnya juga salah. Mengapa? Karena hal tersebut telah menimpa saya, dimulai dari senin yang menandakan dimulainya kesibukan Saya, hingga Jumat dimana kesibukan hilir mudik terus menggoda. Bukankah hari itu dipenghujung menyambut akhir pekan? ah, lelahlah yang saya dapatkan. Untungnya badan masih bisa diajak berteman, meski hati dan perasaan tidaklah serupa demikian. 

Kata orang, "adalah hal yang tepat untuk sesekali memanjakan badan dan fikiran". Tentu juga setiap orang punya cara dan kebiasaan sendiri dalam melakukannya, seperti halnya Saya, dan juga Mereka. Sabtu 29 Maret 2014 sesuai dengan rencana, Kami sekumpulan orang yang suka bermalam di alam bebas merencanakan untuk pergi bersama ke Taman Hutan Raya Sultan Adam (Mandiangin) atau lebih tepatnya di Repeater (berjarak sekitar setengah jam dari Tengger). Waktu dan tempat berkumpul sudah ditentukan untuk bersama menuju Banjarbaru atau tempat pertemuan kami dengan teman-teman yang lain sebelum pergi bersama ke Mandiangin. Namun naas, rasa lelah kini yang menghambatnya, Saya baru terbangun pukul setengah satu siang, setengah jam sebelum waktu yang sudah dijanjikan. Perlengkapan belum siap, tas belum tersusun, motor belum diperbaiki, dan segala macam hal semakin memperlambat segala urusan. Alhasil jam dua siang barulah Saya bisa ke tempat yang sudah dijanjikan, untungnya teman-teman masih bersabar menunggu kedatangan Saya. Kamipu bergesa menuju Banjarbaru.

Kurang lebih pukul tiga sore kami menginjakkan kaki di tempat berkumpul yang kedua, satu-persatu teman datang, bercengkrama seraya menunggu yang lainnya, dan setelah semua persiapan dilakukan, kamipun bergegas menuju Mandiangin. Saya masih ingat, jam di telepon genggam Saya menunjukkan pukul empat kurang lima belas menit, Kami sampai kolam Belanda, tempat yang katanya dahulu kala memang dijadikan sebagai tempat pemandian bagi para tentara Belanda. Ada sedikit masalah di tempat ini, Kami yang awalnya berencana membawa motor hingga tempat tujuan (repeater) ternyata tidak diperbolehkan membawa motor dan harus menitipkannya di warung dekat kolam tersebut. Perjalanan tidaklah sebentar, jika Kami menaiki perbukitan ke tempat tersebut, mungkin akan memakan waktu dua sampai dua setengah jam. Demi mengejar proses terbenamnya mentari, Kami tidaklah lagi berpikir panjang dan langsung memulai perjalanan.

Bisikan doa lalu dilanjutkan dengan sorakan tanda akan dimulainya perjalanan sudah kami lakukan. Kakipun telah melangkah melewati pintu gerbang dimana perjalanan telah Kami lakukan. Banyak hal yang Kami alami diperjalanan, tidak hanya sekali beberapa orang menyatakan rasa lelah dan kemudian memberikan jatah istirahat pada kaki yang mulai bergetar. Wajar, jalan yang kami lalui adalah perbukitan yang cukup terjal, hanya beberapa jalan landai yang Kami temui, tidak terasa setengah perjalanan sudah Kami lalui, sedikit lagi untuk menyaksikan prosesi terbenamnya mentari. Entah pukul berapa Kami sampai di puncak Repeater, hal yang Saya ingat adalah ketika tinggal beberapa langkah lagi Kami sampai disana, bergegas mengambil langkah dan berlari sampai tempat yang dituju, lalu berteriak tanda puas, dan tidak lama mentari pun menepati janjinya. 

Segala sesuatu yang perlu disiapkan kini telah hampir selesai, kopi sudah ada di tangan, tinggal mengantarkan mentari yang akan segera pulang. Kami larut dalam kedamaian yang alam suguhkan, hingga alam berselimut malam. Senja beranjak, malam kini telah bertahta, tidak terduga hujan menyapa, Kami bersiap menghadapi kemungkinan yang ada. Seraya mengamankan semua peralatan, beberapa teman menyapkan makan malam, dan tahukah kalian? makan bersama diatas alas dan tempat yang sama adalah satu momen yang paling berharga kala itu. Sayangnya, Saya tidak bisa terlalu menikmatinya, karena memang perut belum minta jatahnya. Hujan memang membawa berkah, entah mengapa, api unggun yang tadi terkena hujan telah membesar selepas hujan reda, yang artinya bara-bara api yang membara telah setuju menjaga Kami semua hingga pagi tiba. Tapi, adapula kejadian lainnya yang sama sekali tidak Kami duga, karena tanah yang basah akibat hujan tadi, ternyata para kelabang yang bersarang tidak jauh dari tempat Kami beristirahat berbondong-bondong naik ke tempat dimana kami beristirahat, sontak teriakan "Kelabang Army" di teriakkan oleh teman-teman. Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa teman berinisiatif untuk membuat satu lagi api unggun di samping tempat Kami beristirahat. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, perut Saya barulah merasakan lapar, api unggun pun jadi sarana untuk memasak bahan pangan yang telah tersedia. Sekali lagi Saya merasakan nikmatnya makan bersama teman.

Para kelabang sudah bisa dikendalikan, perut sudah kenyang, dan api unggun sedari tadi menghangatkan. Sungguh malam yang syahdu dengan bintang yang bertaburan. Hanya saja angin terus berlarian dan menitipkan salam dari dinginnya malam. Beberapa teman telah pulas dalam mimpinya, beberapa lagi termasuk Saya masih menikmati malam. Kami benyanyi, tertawa, dan bercerita bersama. Tentang segala hal, dari yang menggelitik hingga bisa membuat mata berkaca-kaca. Saya masihlah ingat bagaimana cara Kami bercerita. Menceritakan hal sedih dengan cara yang berbeda, sekali-kali tertawa bersama. berbagai cerita yang didengar oleh telinga, hanya sekedar melepaskan beban yang mungkin saja tidak tertahan. Atau hanya sekedar sebuah hiburan.

Malam beranjak pergi, mentari mulai mengintip sedari tadi. Kembali Saya menyiapkan segelas kopi, demi menghangatkan badan dan bersiap menyambut mentari. Teman yang lain sudah terjaga, Kami semua kembali larut dalam keindahan alam Sang Pencipta. Beberapa teman mulai mengabadikannya, berfoto bersama, bercanda dan banyak lagi yang lainnya. Tiba-tiba Saya tertegun, dan entah mulai kapan, Saya duduk di sebuah batu tidak jauh dari mereka, banyak sekali hal yang terlintas dikepala, hingga tidak sadar mata mulai berkaca-kaca. Tidaklah banyak yang Saya ingat tentang apa yang mereka lakukan, yang Saya ingat hanya seruan Fajar teman saya yang berceletuk bahwa Saya telah meneteskan air mata, setelah itu saya larut dalam lamunan dan sejuta hal lainnya yang menguasai seluruh badan. Indah memang ciptaanmu Tuhan.

Mentari mulai meninggi, rasa kantuk tidak tertahan lagi, Saya beranjak ketempat dimana tadi malam teman-teman beristirahat, membalut tubuh dengan kantung tidur lalu terbuai dengan mimpi. Entah berapa lama Saya terlelap, beberapa bisikan mulai membangunkan indahnya buaian mimpi, ternyata teman-teman Saya telah menyuguhkan mie rebus yang sedari tadi ternyata sudah disuguhkan. Suapa pertama Saya merasakan rasa yang berbeda, mie yang Saya makan agak asam. Tapi, untuk menghargai masakan yang disuguhkan, Saya tidak lagi memperdulikannya. Benar saja, tepat satu sendok lagi sebelum mie yang Saya makan habis, teman-teman Saya bertanya, "Apa rasanya lus mie yang kadaluarsa?". Astagaaa... ternyata salah satu dari mie yang tercampur dalam makanan tadi sudah kadaluarsa, dan hal itu hanya diketahui oleh teman Saya yang memasaknya namun sengaja diam dan tidak memberitahukannya kepada Saya terlebih dahulu sebelum terlanjur melahap habis mie rebus tadi. sontak mereka semua tertawa terbahak-bahak melihat Saya yang telah menghabiskan hidangan tersebut. Yah, Saya hanya bisa tersipu malu melihat semuanya.

Akhirnya Kamipun harus beranjak meninggalkan tempat tersebut, tapi sebelumnya sesuai dengan kesepakatan. Kami bersama-sama membersihkan tempat tersebut dari sampah yang berserakan. Ironis memang, tempat seperti itu dikotori oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Setelah bersih kamipun beranjak kembali ke kloam belanda. Sesampainya disana, rasa lelah kami bayar lunas dengan mandi bersama di kolam. Sempat sekali Saya mencoba terjun dari atas kolam, padahal Saya tidak bisa berenang, tapi dengan janji akan diselamatkan Sayapun memberanikan diri untuk melakukannya. Ternyata memang kejahilan teman-teman Saya tidak ada habisnya. Mengetahui Saya yang tidak bisa berenang, mereka menyeret Saya ke tengah kolam dan meneriakkan ucapan selamat ulang tahun. Padahal ulang tahun Saya sudahlah lama terlewat. Hahaha, ada-ada saja.

Selesai mandi, ganti baju dan istirahat sebentar. Maka sudah semestinyalah Kami semua berpisah, kembali ke habitat masing-masing, beristirahat lalu kembali menantang hari. Pengalaman itu, kejadian demi kejadian yang Saya alami tidaklah pernah akan terlupakan. Terima kasih teman-teman atas semua kejadian yang telah kita alami bersama. 

Banjarmasin, 1 April 2014

Sabtu, 22 Maret 2014

Pendapat Mereka.

kata mereka...
terlalu muda bagiku mengerti makna tentang cinta.
terlalu munafik bagiku memahami konsep tentang cinta.
terlalu berbeda bagiku mengartikan arti tentang cinta.
terlalu jauh bagiku menafsirkan tentang cinta.
ada juga yang bersua...
masih...
terlalu mudah bagiku memaafkan kesalahan cinta.
terlalu berlebihan bagiku dalam membela setiap kesalahan cinta.
terlalu indah bagiku membayangkan kisah cinta.
terlalu banyak bagiku kesalahan yang kulakukan terhadap cinta.
terlalu sedikit bagiku kesakitan selama ini kualam.
lantas...???
pantaskah bagiku menjadi orang lain hanya untuk melakukan semua ocehan yang belum tentu kalian pun tahu dan mampu untuk sekedar membuktikan semua yang kalian katakan tadi adalah benar adanya?
jadi, silahkan bersua SEPUASNYA...

Banjarmasin, 22 Maret 2014

Kamis, 13 Maret 2014

untukmu, dan sebuah larik sederhana.

untukmu, yang kini tak lagi ada di sisiku.
untukmu ,yang selalu tersenyum manis kepadaku, dulu.
Suatu waktu dimana telingamu terbiasa mendengar bisikan kata sayang dan cinta, saat dimana mulutku tak pernah kaku untuk mengucapkannya.
Bagimu, semua itu telah berlalu.
Bagimu, cerita itu hanyalah tersisa sebagai masa lalu, selembar kertas di sebuah buku yang kini sudah tak terpakai dan berdebu.
Aku, barisan kata dalam larik sebuah puisi yang tidaklah lagi berharga.
Setiap rima dalam sajakku tak lagi buatmu tersipu malu, atau bahkan senyum kecil dan anggukan tanda setuju.
Selalu, aku berharap kau di sini, namun kini hanyalah sekedar mimpi, serupa khayal yang tak akan lagi menjadi nyata. 
Senyummu, tak lagi ada.
Rembulan yang kini tak lagi terangi gelap malam.

untukmu, yang kini tak lagi ada di sisiku.


Banjarmasin, 13 Maret 2014

yang Kusayangkan.

Rembulan tak mau lagi sinari gelap malam.


Banjarmasin, 13 Maret 2014

untuk yang Tercinta

Selamat Ulang Tahun, Mama...
:)

Banjarmasin, 13 Maret 2014

Rabu, 05 Maret 2014

Malam Suatu Pandang

Di hamparan malam suatu pandang...
Saat seribu pertanyaan menyerangku dan seakan kaulah yang menjadi jawaban...
Saat semua keindahan malam kusaksikan seakan kaulah satu-satunya yang menjadi perlambang...
Saat ku menatap taburan bintang seakan kaulah yang menjadi penerang...
Saat ku menyapa anggunnya rembulan seakan kepada kaulah pandanganku teralihkan...
Saat binatang malam bernyanyian seakan hanya merdu suaramu yang kudengarkan...
Saat ku terjaga dan menunggu mentari seakan senyummulah yang kunantikan...
Saat ku menatap bulir embun di dedaunan seakan bening matamu yang ku pandangi...
Saat ku mulai bosan dengan hiruk pikuk kota ini seakan kaulah yang selalu ada dan menyemangati...
Dan saat semua panca inderaku mati dan tak bisa lagi rasakan arti, hanya kata CINTA yang tersisa disini...

Banjarmasin, 5 Maret 2014

Senin, 03 Maret 2014

Pagi ataukah Dinihari???

ini pagi ataukah dinihari...???
kerinduan ini sudah terlalu biasa menghujani...
setiap malam sesak dan datang bertubi-tubi...
tetes hujan diluar sana sekejap menjadi perlambang...
perlambang bahwa dingin malam tak lagi bisa dirasakan melainkan hanya kerinduan...
belum cukupkah semua kukatakan???
jikalau rindu ini sudah terlalu biasa kuucapkan???
saat kata rindu sudah terlalu biasa kuucapkan...


Banjarmasin, 3 maret 2014

Minggu, 02 Maret 2014

Minggu, 23 Februari 2014

Cerpen "Secangkir Kopi dan Senja Tanpa Mentari"

Oleh Dedy Herwin Rendy (Vukalus)

            “Pesanan meja nomor tiga belas!” teriak seorang pelayan kedai kopi sore itu. “Kopi hitam dengan sedikit gula lagi? Orang yang sama?” tanya pelayan lainnya yang datang menghampiri seraya mengambil tempat kopi tersebut lalu beranjak mengantarkan pesananku. Ya, segelas kopi hitam dengan sedikit gula memang menu yang selalu kupesan ketika berada di kafe itu. Terlihat wajah pelayan yang tersipu malu saat mengantarkan pesananku karena baru sadar jarak antara mejaku dan tempatnya mengambil kopi pesanan tidaklah jauh. Aku hanya melemparkan senyum saat mengetahuinya, lalu kembali sibuk dengan kegiatanku seperti biasanya saat berada di kafe ini. Tidak banyak yang berbeda, terlalu sama seperti saat senja dikala itu. Aku mendengar suara yang lembut dari arah belakangku, arah dimana aku biasanya menghampiri pelayan dan memesan menu yang selalu kupesan di kafe ini. “Kopi hitam satu, gulanya sedikit saja ya,” kata suara itu masih sangat jelas terngiang-ngiang di telingaku. Entah sudah berapa lama waktu yang terlewati, gadis itu telah duduk di hadapanku. Hanya mejaku saja rupanya yang terdapat kursi kosong, takdir ataukah ketidaksengajaan? Aku tidak tahu itu, yang kutahu namanya Ara, mahasiswa semester awal di sebuah universitas negeri di kota ini. “Suka kopi juga?” katanya terlihat ingin berkenalan denganku. “Ya, tetapi tanpa gula,” sahutku. “Mengapa tanpa gula?” katanya lagi, terlihat jelas keingintahuannya saat menatapku. “Sesuai dengan hidupku, tidak manis sama sekali, pahit kopi terasa menyatu denganku saat kusruput tanpa sedikitpun manis teraduk di dalamnya,” kataku lagi. Ara langsung menyodorkan gelas kopinya, “Coba yang ini!” katanya lagi. Aku heran dengan kelakuannya saat itu, lalu kucoba menyeruput sedikit kopi di gelas yang tadi disodorkannya. “Saat pahitnya kopi menguasai lidah, perlahan ia akan lenyap dan digantikan oleh manisnya gula, begitu pula hidup, pahit bukanlah satu-satunya rasa yang akan kita rasakan, manisnya hidup juga pasti akan kita rasakan,” celotehnya panjang lebar saat aku meletakkan gelas kopi di hadapannya. “Akankah semanis gadis yang menyodorkan gelas kopi ini kepadaku?” kataku seraya tersenyum. “Ternyata selain seleramu yang tak jauh berbeda denganku, kau pintar menggoda juga ternyata,” katanya lagi. Kamipun tertawa bersama, sore itu tak akan pernah Kulupa. Meski senja kala itu tanpa mentari. Rasanya ada sinar lain yang menampakkan keindahannya di hadapanku.

            “Kopi hitamnya dua, gulanya sedikit saja,” kalimat itu selalu menjadi kebiasaan di setiap sore saat Aku dan Ara menghabiskan waktu menatap senja di kafe itu, sejak awal kami bertemu. “Bagaimana dengan kopinya? Masih pahit?” katanya menatapku. “Masih,” kataku seraya menyeruput kopi hitam di tanganku. “Tapi semuanya berganti menjadi manis saatku menatapmu,” kataku tersenyum padanya. Ara tersenyum manis saat itu, lalu tidak henti-hentinya mencubit pergelanganku. “Dasar gombal…! Mau sampai kapan Kamu terus menggodaku seperti itu?” Ara bertanya padaku. “Hari ini tepat tiga tahun kita bersama, sejak saat itu, saat Kamu pertama kali mencoba kopi dengan sedikit gula kesukaanku, dan terbukti kalau Kamu menyukainya. Akupun merasakan rasa yang sama seperti yang kau rasakan, apakah Kita ditakdirkan untuk ini semua?” katanya lagi. Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya saat itu, bukan hal yang biasa saat dia menanyakan hal seperti itu. “Mungkin… sebab Tuhan ingin menambahkan manisnya gula dalam kehidupanku yang terlampau pahit dikala dulu,” jawabku padanya sambil tersenyum. “Aku hanya berharap… senja ini akan selalu kunikmati dengan secangkir kopi hitam ditambah sedikit gula dan seorang gadis cantik yang kucinta berada di sampingku, sampai nanti, saat Tuhan berkendak mempertemukan kita di surga-Nya,” kataku lagi. “Dan… maukah Kau membantuku mewujudkan harapan itu?” kulanjutkan kata-kataku yang terhenti sejenak seraya menyodorkan kotak kecil berisi cincin kepada Ara. “Kau Serius?! A…aku… Aku tidak tahu harus berkata apa, apa Kau gila?” katanya sangat terkejut. “Ra, Kamu tidak perlu berkata apa-apa,” kataku menatapnya. “Cukup Kau ambil dan pasang cincin ini jika kau ingin mengabulkannya, atau kau juga bisa menutupnya jika memang itu sudah seharusnya,” kataku lagi. Tangannya bergetar saat mencoba menggapai cincin di tanganku, perlahan terlihat wajahnya yang membuatku cemas akan semua hal yang akan dilakukannya beberapa saat lagi. Aku berusaha melihat jawaban apa yang akan diberikan olehnya. Dan terjawab sudah, cincin sederhana yang kusodorkan padanya kini telah melingkar di jari manis gadis yang sangat Kusayangi. Senja itu Kami habiskan dengan menatap senja yang mengantarkan mentari dan membujuk bulan untuk segera menemani malam.

            “Sederhana saja, tapi Aku janji, bunga-bunga mawar akan memenuhi pernikahan kita nanti,” kataku pada Ara saat Kami berdua mendiskusikan tentang konsep pernikahan yang akan dilangsungkan tidak lama lagi. Kami berdua telah sepakat memilih tanggal pernikahan yang sama saat pertama kali kami bertemu, tahun keempat yang akan kami rayakan dengan akad suci beserta janji untuk saling menyayangi. Tepat tiga bulan lagi momen itu akan kami jalani. “Apapun yang kau pilih, pasti Aku akan menyukainya,” jawab Ara seraya tersenyum padaku.

            “Sayang, maaf sore ini Aku tidak bisa menemanimu menikmati senja,” suara Ara terdengar lemah saat Dia berbicara padaku lewat telepon genggamnya. “Ra, Kamu sakit? Sakit apa? Sudah ke dokter? Aku antar ya?” tanyaku sangat khawatir mendengar suaranya yang sudah jelas tergambar bahwa Dia tidaklah dalam keadaan yang baik-baik saja. “Tidak usah, tadi Mama sudah mengantarku untuk periksa, dokter hanya menyuruhku untuk banyak beristirahat, Kamu jangan khawatir ya, Aku baik-baik saja, Aku pasti cepat sembuh dan kembali menemanimu minum kopi dan menikmati mentari kala senja” jawabnya dari ujung sana.

            Hari yang dinantikan tiba, hari ini adalah hari pernikahan Kami. Aku terlalu gugup saat melihat wajah penghulu yang duduk tepat di hadapanku. Beruntung semua bisa kulewati dengan lancar sampai saat Ara yang kini telah sah menjadi istriku menunduk seraya mencium tanganku sebagai tanda bahwa Dia menghormatiku sebagai suami dan kepala keluarga dari akad yang baru saja dilangsungkan. Tubuhnya tiba-tiba lemah, lalu tersungkur ke pangkuanku. Ara pingsan, semua orang di dalam ruangan itu panik, termasuk Aku yang langsung menggendong dan membawanya ke rumah sakit. Betapa terkejutnya Aku, vonis dokter yang menyatakan bahwa tubuh Ara sudah tidak sanggup lagi menahan penyakit yang dideritanya. Kanker stadium akhir, rupanya Ara selalu menyembunyikannya dariku sejak awal. Dokter pun bercerita padaku kalau sebelumnya Ara menolak pengobatan khusus yang harus dijalani olehnya, semata karena hari ini adalah pernikahan Kami. “Aku tidak mau melihatmu cemas sayang, Aku mau melihatmu selalu tersenyum manis kepadaku di hari pernikahan Kita,” kata Ara lirih. “Aku harap Aku bisa mengabulkan permohonanmu saat pertama kau memintaku untuk memakai cincin ini,” katanya lagi seraya menatap cincin yang keberikan satu tahun yang lalu. Air mataku menetes deras mendengar suara lirihnya, Aku tidak lagi sanggup menjawab semua perkataannya, Aku menatapnya dengan cemas. “Jangan ce…mas… sayang, Aku baik-baik saja, A…aku… akan menunggumu di sana,” suara Ara mulai terbata. Aku semakin tidak tahu apa yang harus kulakukan, Aku dilanda kesedihan dan kebingungan yang teramat sangat. “Ja…ngan… sedih sayangku, maukah K…kau membimbingku mengucapkan syahadat di telingaku? Suamiku? Ini permohonan terakhir dari Istrimu,” ucapnya dengan suara yang semakin lemah. Sambil terisak Aku membimbing Istriku merampungkan permohonannya. Nafasnya berakhir setelah selesai mengucapkan kata terakhir yang kubisikkan di telinganya. Tuhan melalui malaikat-Nya telah menjemput Ara, menjemput Istri yang begitu Kucinta.

            Sore ini, tepat setahun pernikahan Kami, setahun pula Ara telah pergi mendahuluiku. Kutatap segelas kopi hitam dengan sedikit gula dihadapanku. Pelayan yang menggerutu tadi masih terlihat sibuk sesekali terlihat malu saat melihatku yang mendengar gerutunya tentangku tadi. Ya, disinilah Aku sendiri menikmati secangkir kopi dengan sedikit gula kesukaanku dan Ara sambil menikmati prosesi terbenamnya mentari. Begitu sama saat Aku bersamanya. Hanya saja sore ini dan seterusnya, Ara mentariku tak ada lagi dikala aku menatap senja. Mentariku, tunggulah Aku di surga-Nya.
SELESAI


Senin, 17 Februari 2014

Malam dan Alam

Rembulan nan Cemerlang.
Saksi bisu awan selimut alam.
Desir angin yang berlarian.
senandung senyap nyanyian malam.
Tarian api unggun berkobaran.
Bakar amarah kayu yang patah.
Kebersamaan lelap dalam senyap.
Menanti pagi yang kami harap membawakan mentari, ke tempat ini.

Tirai Hujan, 16 Februari 2014

"Tulisan ini terangkai saat bersama dalam satu renungan, seraya menikmati senyapnya malam sang alam"


Jumat, 14 Februari 2014

Si Penakut

Penakut tetaplah penakut.
Seorang yang takut tetap akan dianggap pengecut.
Kata berani seolah sumbu lilin yang tidak akan pernah tersulut.
Dalam ketakutan kini Aku bertekuk lutut.

Bagiku, sekali penakut pantaslah sudah sebagai pengecut.
Aku takut...

Aku terlalu takut untuk kehilangan dirimu.
Saat otak tak mau lagi kompromi dan tak sanggup menghapus semua memori.
Aku terlalu takut kata itu suatu saat tak akan terdengar lagi.
Aku takut...

Terlalu takut ku akan gelap sebab sebab tak ada lagi lentera dalam hati.
Lentera yang dahulu selalu menemani saat aku hanya seorang pengecut.
Aku takut...
Cahaya itu tak akan ada lagi...
Cahaya itu bukanlah untukku lagi...

Aku menginginkanmu...
Layaknya embun yang menantikan mentari saat bulan berkhianat dan beranjak pergi.
Tak ada keinginan yang terlampau suci selain permintaan ini.
aku menginginkanmu...
Layaknya gelap malam yang selalu ditemani penghuni alam.

Aku tak tahu lagi kata apa yang akan tertulis di lembar kertas ini.
Biarkan hati yang membimbing ujung penaku.
Sebab semua terampaikan hanya karenamu.
Berjejal, semakin memaksa untuk dituliskan.
Apakah kau juga seperti itu?
Sebab...
Disini Aku Takut kehilanganmu.
Terlalu pengecut Aku tanpa dirimu.
Hanya engkaulah lentera dalam gelap malamku.
Aku menginginkanmu.
Aku mencintaimu.

Banjarmasin, 14 Februari 2014

"Ditemani sebatang rokok, segelas kopi, lembaran kertas, pena, dan kerinduan yang mendalam"


Senin, 10 Februari 2014

Tentang Pagi dan Kerinduan

banyak yang berkata tentang cinta...
tentang keindahannya yang tiada dua...
tentang ceritanya yang penuh warna,,,
atau tentang kejutan yang tak pernah terduga,,,

beruntunglah mereka,,,
sebab mungkin hanya sebagian saja yang mengalaminya,,,
sebagian lagi tak mustahil ada dikebalikannya...
atau bahkan hanya bisa berharap semua itu menjadi nyata...

pagi ini berbisik lembut pada dedaunan,,,
dengan bebas menyatakan kerinduan...
mentari bersiap disatu sisi...
beri kejutan tentang hangatnya pelukan...

kali ini aku hanya bisa menatap iri,,,
sebatang rokok jadi pelampiasan kini...
gumpalan asap hembusku mantap...
gambarkan rindu yang kini telah menjadi candu...

asap itu perlahan naik ke atap...
tangan tergenggam namun tak bisa ku raih...
sama seperti pagi ini...
kau kurindukan dan tak bisa kunyatakan...

sebab kerinduan tak lagi pantas untuk kuucapkan...

Banjarmasin, 10 Februari 2014

Minggu, 26 Januari 2014

Perandaian dan Kebalikannya

Jika saja aku memiliki dunia tetapi tidak memiliki kamu,,,
Lebih baik aku ada di kebalikannya...

Banjarmasin, 26 Januari 2014

Aku

cuma sayang kamu...
cuma cinta kamu...

cuma mau kamu...


Banjarmasin, 26 Januari 2014

Kamis, 23 Januari 2014

Cita-cita dan Tuhan

Tak perlu mengikat cita dengan alas sang bintang...
Bagiku...

Kutitipkan cita dan asa di atas puncak tertinggi gunung yang engkau ciptakan ya Tuhan...
Pendakianku semata hanya untuk pembuktian,,,
Tanpa harus merusak perawan gadis yang mereka sebut hutan...
Suatu saat aku akan ada di puncak tertinggi yang sangat ku idamkan,,,
Memetik segala yang pernah kutitipkan...
dan semata hanya karenamu, TUHAN...

Hambamu ini bukanlah manusia yang senantiasa berdoa,,,
Banyak juga waktu yang terlewat sia-sia...
Jalanku terlalu terjal bagi manusia,,,
Bebatuan menyapa di setiap langkah hambamu...
Menyeret dan semakin memberatkan dikelipatannya...
Bukankah ini yang kuinginkan???
Bukankah ini pula yang kau tuliskan???
Tuhan,,,
Tidak ada yang perlu disalahkan...
Cukup beri hambamu ini kekuatan,,,
:)


Banjarmasin, 23 Januari 2014

Rabu, 22 Januari 2014

Hanya Berpendapat

meratap menikmati gelap...
cahayanya tak tampak, tak bisa lagi kulihat...
selamanya mungkin rembulan tertutup awan gelap...
bukan salah kabut atau prasangka akan awan yang semakin gelap...
sebab rembulanlah yang berkehendak...

entah cahayanya berkhianat,,,
atau memang tak lagi punya minat...
walau sekedar mengantarkan pagi... 
di pelupuk mimpi...
sungguh malang makhluk Tuhan,,,
saat menyambut mentari tanpa ada lagi sang rembulan...


Banjarmasin, 22 Januari 2014

Rabu, 15 Januari 2014

Beberapa Menit Kerinduan

Cahaya itu datang...
Benderang dalam gelapku...
Malaikat kecil yang hinggap di hidupku...
Temani, lalu lambaikan tangan dan pergi...

Siapa sangka?
Tiba-tiba ia muncul disini...
Seberkas, lalu pergi...
Cahaya itu singgah bagai mimpi...
Sekejap dan kemudian tak ada lagi...

Terlalu banyak rindu yang harus kusimpan...
kujaga, meski kau tak perduli akan semua...
Saat itu semua bisa kulampiaskan,,,
Meski kau tak tahu aku merindukan...

Setiap detik sangatlah berharga...
Salah tingkah aku dibuatnya...
Setiap menit yang coba kuterka...
Seakan mengulang semua cerita...

Bunyi telepon dimatikan...
Perpisahan dikumandangkan...
Cahaya terang siap meninggalkan...
Damailah diri berteman semua kerinduan...


Banjarmasin, 15 Januari 2014

Minggu, 12 Januari 2014

Tentang Ketakutan dan Mimpi.

Ketakutan itu kembali datang...
Ketakutan itu kembali ada...
Begitu nyata di setiap hembus nafasku...

Terengah tak lagi bisa rasakan lelah...

Tetes air mulai menyapa pagi...
Mentari mungkin akan terlambat datang nanti...

Mataku, mataku enggan bercumbu dengan mimpi...
Sebab mimpiku kini telah jauh pergi...

Setiap inchi tubuhku lemah...
Tak ada tenaga untuk melakukan apa-apa...
Sebab percuma apa yang ku sua...
Mimpiku sudah jauh disana...

Ketakutan itu kembali nyata,,,
Membayang disetiap langkahnya...
Kini ketakutan itu selalu ada,,,
Saat mimpiku pergi, tak lagi ada...

Akankah selalu begini???
Kulahap setiap malamku dengan sendiri...
Dimanakah mimpiku kini???
Kabarnya pun tak terdengar lagi...

Kembali kupejamkan mata...
Berharap kau kembali nyata...
Mimpiku telah pergi...

Bersamamu, dan aku mati...



Banjarmasin, 12 Januari 2014
Suatu pagi, saat ketakutanku nyata dan mimpi tak lagi ada...