Playlist 20

Kamis, 15 Desember 2016

Sepucuk Surat Kala Itu

Malam itu Begitu menakjubkan.
Bintang beramai-ramai menyapuh sinar rembulan.
Cahayanya, begitu mendamaikan...
Sepucuk surat pun datang,
Sepucuk surat kala itu…

Sepucuk surat pertama…
Terhanyut Aku membaca bait tiap baitnya.
Bak puisi sang pujangga,
Aku dibombardir oleh diksi yang melebur asa…
Tak henti pujian menghujamku tanpa sempat nafasku terhela.
Hingga suatu tanya tertoreh diakhirannya…
Akankah Aku, dan Dia mengenal cinta…

Sepucuk surat kedua,
Nyanyian katanya begitu memanja,
Aku tenggelam ditiap aksara bersambut kata dalam surat berhias pita.
Telah kusanggupi untuk berdua bersamanya, serta belajar mengenal cinta.
Kulihat surat kedua datang dan merayuku begitu mesra.
Bak kulihat ia sedang duduk bersimpuh di depanku,
Memegang jemariku, seraya mengecup tepat diantara dua alisku.
Saat itu pula kau menyajikanku bermacam hal yang akan kita tempuh,
Tawa, rindu, duka, cemburu, air mata… dan bahkan maut katamu.
Gamang aku membayangkan terjalnya bebatuan di jalan yang kita tuju.
Sekali lagi,
dengan kata-kata indahmu, kau meyakinkanku menaiki bahtera itu.

Sepucuk surat ketiga…
Begitu lama kutunggu kedatangannya…
Memang, setelah surat kedua Kami tak lagi saling sapa lewat tinta.
Malah lebih manis dari sekedar membaca torehan tintanya.
Kami bertemu, saling mengaku dan menghabiskan ribuan malam berdua.
Hingga pada suatu ketika, negeri ini memanggilnya.
Katamu, perjuangan harus diakhiri dengan seruan merdeka.
Kau pergi ke medan laga…
Rindu kita membuncah, dan tak tahu kapan berhenti meronta.
Disana tak enak katamu, dibandingkan dengan bersamaku yang hanya memberikan kebahagiaan semampuku.
Aku merindukanmu,
Ya… Aku merindukan senyumannya,
Surat selembar itu, mengeringkan rinduku.

Sepucuk surat kala itu…
Merubah hidupku.
Buramkan pandangan atas pengharapan.
Janji yang membatu,
Merobek lukaku.
Rembulan kala itu disetubuhi awan hitam berkias kelabu.
Bintang-bintang kala itu tak tampak dipanca inderaku.
Malam kala itu diam terpaku, membisu dan bak neraka tak berdasar bagiku.
Sepucuk surat kala itu tampak lusuh, namun sanggup mengoyak dan menghujam tiada ampun ke jantungku.
Sepucuk surat kala itu…
Ya… sepucuk surat keempat itu adalah…
Sepucuk surat terakhir darimu.

Banjarmasin, 04 Desember 2016

NB:
  1. Alhamdulillah puisi ini mendapatkan kepercayaan dari Adik-adikku di Teater Ilalang sebagai puisi yang dibawakan pada penampilan Bazaar #BERISIK3 (Rangkaian acara Diesnatalis UKM Sanggar Seni Demokrat FISIP UNLAM) pada sembilan Desember 2016.
  2. Puisi ini (yang Kalian lihat saat ini) sedikit berbeda dari yang dibawakan pada malam itu, sebab pada bait keempat baris kesepuluh atas saran seseorang telah diganti, namun sayangnya pada saat proses penggarapan masih dengan larik sebelumnya(Belum diganti), berharap tidak mengurangi esensi yang ingin disampaikan dari puisi tersebut.
  3. Puisi ini adalah puisi pertama yang Saya tulis TIDAK BERDASARKAN atas kejadian yang saya alami, sebab puisi ini adalah "Pesanan" yang diharuskan sesuai dengan konsep yang sudah dirancang bersama.
  4. Selamat menikmati.
  5. Selesai.

Senin, 22 Agustus 2016

Rindu

otakku terlampau kelu...
jemariku mengekor kaku...
imajiku kini membeku...
pandanganku tak bertumpu...
senyumku tak tau arah menuju...
semua berrdasar padamu...
maut menungguku, sebab diracun rindu...

Banjarmasin, 22 Agustus 2016

Selasa, 24 November 2015

Maafkan

Tuhan...
Jalan yang kami tapaki bukanlah jalan yang sepenuhnya suci...
Kadang bukanlah jalan yang selalu kau berkahi...
Tetapi kami berikrar di putaran loki yang tak terpuji...
Maafkanlah kami yaa robbi...
Di atas loki yang kau gerami... 
menua hingga nanti mati...
Grow old together...
Mengucap janji sampai mati...
Kami saudara yang abadi...

Banjarmasin, 
Sekretariat Stand Up Comedy South Borneo, 
22 November 2015

Sanja kuning

...
Sanja kuning di langit nang bakabut.
Sasak dada lamun bahinak.
Lainan jua nang dirasa humap.
Kuningnya sanja kadada lagi pamalinya.
Urang tuha kadada lagi nang manurutinya.
Dimapa am lagi kami nang anum?
Baapa kita maharap hujan banyu?
Lamun pas kita tatiharap nang kita dapat angin ribut mambawa kalalatu.
...

#MasihMelawanASAP


Banjarmasin, 14 oktober 2015

Tanpa Judul dengan Sejuta Makna.

Jika benar tulisan bisa menggetarkan hati seseorang.
Jika benar perkumpulan ini memanglah layaknya keluarga yang dipersatukan tanpa harus melalui hubungan darah.
Jika memang benar hanyalah mati dan keinginan sendiri yang bisa memutus aliran keluarga ini.
Maka aku ingin melihat, kakak-rekan-adikku yang terpisah dengan berbagai alasan berkumpul di tempat yang sama, misi yang sama serta visi yang serupa, kembali menjadi bagian di satu keluarga mengukir karya.


Teater Ilalang.
23 September 2003 - 23 September 2015
#1KeluargaRumahKe2