Oleh Dedy
Herwin Rendy (Vukalus)
“Pesanan meja nomor tiga belas!”
teriak seorang pelayan kedai kopi sore itu. “Kopi hitam dengan sedikit gula
lagi? Orang yang sama?” tanya pelayan lainnya yang datang menghampiri seraya
mengambil tempat kopi tersebut lalu beranjak mengantarkan pesananku. Ya,
segelas kopi hitam dengan sedikit gula memang menu yang selalu kupesan ketika
berada di kafe itu. Terlihat wajah pelayan yang tersipu malu saat mengantarkan
pesananku karena baru sadar jarak antara mejaku dan tempatnya mengambil kopi
pesanan tidaklah jauh. Aku hanya melemparkan senyum saat mengetahuinya, lalu
kembali sibuk dengan kegiatanku seperti biasanya saat berada di kafe ini. Tidak
banyak yang berbeda, terlalu sama seperti saat senja dikala itu. Aku mendengar
suara yang lembut dari arah belakangku, arah dimana aku biasanya menghampiri
pelayan dan memesan menu yang selalu kupesan di kafe ini. “Kopi hitam satu,
gulanya sedikit saja ya,” kata suara itu masih sangat jelas terngiang-ngiang di
telingaku. Entah sudah berapa lama waktu yang terlewati, gadis itu telah duduk
di hadapanku. Hanya mejaku saja rupanya yang terdapat kursi kosong, takdir
ataukah ketidaksengajaan? Aku tidak tahu itu, yang kutahu namanya Ara, mahasiswa
semester awal di sebuah universitas negeri di kota ini. “Suka kopi juga?”
katanya terlihat ingin berkenalan denganku. “Ya, tetapi tanpa gula,” sahutku.
“Mengapa tanpa gula?” katanya lagi, terlihat jelas keingintahuannya saat
menatapku. “Sesuai dengan hidupku, tidak manis sama sekali, pahit kopi terasa menyatu
denganku saat kusruput tanpa sedikitpun manis teraduk di dalamnya,” kataku
lagi. Ara langsung menyodorkan gelas kopinya, “Coba yang ini!” katanya lagi.
Aku heran dengan kelakuannya saat itu, lalu kucoba menyeruput sedikit kopi di
gelas yang tadi disodorkannya. “Saat pahitnya kopi menguasai lidah, perlahan ia
akan lenyap dan digantikan oleh manisnya gula, begitu pula hidup, pahit
bukanlah satu-satunya rasa yang akan kita rasakan, manisnya hidup juga pasti
akan kita rasakan,” celotehnya panjang lebar saat aku meletakkan gelas kopi di
hadapannya. “Akankah semanis gadis yang menyodorkan gelas kopi ini kepadaku?”
kataku seraya tersenyum. “Ternyata selain seleramu yang tak jauh berbeda
denganku, kau pintar menggoda juga ternyata,” katanya lagi. Kamipun tertawa
bersama, sore itu tak akan pernah Kulupa. Meski senja kala itu tanpa mentari.
Rasanya ada sinar lain yang menampakkan keindahannya di hadapanku.
“Kopi hitamnya dua, gulanya sedikit
saja,” kalimat itu selalu menjadi kebiasaan di setiap sore saat Aku dan Ara
menghabiskan waktu menatap senja di kafe itu, sejak awal kami bertemu. “Bagaimana
dengan kopinya? Masih pahit?” katanya menatapku. “Masih,” kataku seraya
menyeruput kopi hitam di tanganku. “Tapi semuanya berganti menjadi manis saatku
menatapmu,” kataku tersenyum padanya. Ara tersenyum manis saat itu, lalu tidak
henti-hentinya mencubit pergelanganku. “Dasar gombal…! Mau sampai kapan Kamu
terus menggodaku seperti itu?” Ara bertanya padaku. “Hari ini tepat tiga tahun
kita bersama, sejak saat itu, saat Kamu pertama kali mencoba kopi dengan
sedikit gula kesukaanku, dan terbukti kalau Kamu menyukainya. Akupun merasakan
rasa yang sama seperti yang kau rasakan, apakah Kita ditakdirkan untuk ini
semua?” katanya lagi. Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya saat itu, bukan
hal yang biasa saat dia menanyakan hal seperti itu. “Mungkin… sebab Tuhan ingin
menambahkan manisnya gula dalam kehidupanku yang terlampau pahit dikala dulu,”
jawabku padanya sambil tersenyum. “Aku hanya berharap… senja ini akan selalu
kunikmati dengan secangkir kopi hitam ditambah sedikit gula dan seorang gadis
cantik yang kucinta berada di sampingku, sampai nanti, saat Tuhan berkendak
mempertemukan kita di surga-Nya,” kataku lagi. “Dan… maukah Kau membantuku
mewujudkan harapan itu?” kulanjutkan kata-kataku yang terhenti sejenak seraya
menyodorkan kotak kecil berisi cincin kepada Ara. “Kau Serius?! A…aku… Aku
tidak tahu harus berkata apa, apa Kau gila?” katanya sangat terkejut. “Ra, Kamu
tidak perlu berkata apa-apa,” kataku menatapnya. “Cukup Kau ambil dan pasang
cincin ini jika kau ingin mengabulkannya, atau kau juga bisa menutupnya jika
memang itu sudah seharusnya,” kataku lagi. Tangannya bergetar saat mencoba
menggapai cincin di tanganku, perlahan terlihat wajahnya yang membuatku cemas
akan semua hal yang akan dilakukannya beberapa saat lagi. Aku berusaha melihat
jawaban apa yang akan diberikan olehnya. Dan terjawab sudah, cincin sederhana
yang kusodorkan padanya kini telah melingkar di jari manis gadis yang sangat Kusayangi.
Senja itu Kami habiskan dengan menatap senja yang mengantarkan mentari dan
membujuk bulan untuk segera menemani malam.
“Sederhana saja, tapi Aku janji,
bunga-bunga mawar akan memenuhi pernikahan kita nanti,” kataku pada Ara saat
Kami berdua mendiskusikan tentang konsep pernikahan yang akan dilangsungkan
tidak lama lagi. Kami berdua telah sepakat memilih tanggal pernikahan yang sama
saat pertama kali kami bertemu, tahun keempat yang akan kami rayakan dengan
akad suci beserta janji untuk saling menyayangi. Tepat tiga bulan lagi momen
itu akan kami jalani. “Apapun yang kau pilih, pasti Aku akan menyukainya,”
jawab Ara seraya tersenyum padaku.
“Sayang, maaf sore ini Aku tidak
bisa menemanimu menikmati senja,” suara Ara terdengar lemah saat Dia berbicara
padaku lewat telepon genggamnya. “Ra, Kamu sakit? Sakit apa? Sudah ke dokter?
Aku antar ya?” tanyaku sangat khawatir mendengar suaranya yang sudah jelas
tergambar bahwa Dia tidaklah dalam keadaan yang baik-baik saja. “Tidak usah,
tadi Mama sudah mengantarku untuk periksa, dokter hanya menyuruhku untuk banyak
beristirahat, Kamu jangan khawatir ya, Aku baik-baik saja, Aku pasti cepat
sembuh dan kembali menemanimu minum kopi dan menikmati mentari kala senja”
jawabnya dari ujung sana.
Hari yang dinantikan tiba, hari ini
adalah hari pernikahan Kami. Aku terlalu gugup saat melihat wajah penghulu yang
duduk tepat di hadapanku. Beruntung semua bisa kulewati dengan lancar sampai
saat Ara yang kini telah sah menjadi istriku menunduk seraya mencium tanganku
sebagai tanda bahwa Dia menghormatiku sebagai suami dan kepala keluarga dari
akad yang baru saja dilangsungkan. Tubuhnya tiba-tiba lemah, lalu tersungkur ke
pangkuanku. Ara pingsan, semua orang di dalam ruangan itu panik, termasuk Aku
yang langsung menggendong dan membawanya ke rumah sakit. Betapa terkejutnya
Aku, vonis dokter yang menyatakan bahwa tubuh Ara sudah tidak sanggup lagi
menahan penyakit yang dideritanya. Kanker stadium akhir, rupanya Ara selalu
menyembunyikannya dariku sejak awal. Dokter pun bercerita padaku kalau
sebelumnya Ara menolak pengobatan khusus yang harus dijalani olehnya, semata
karena hari ini adalah pernikahan Kami. “Aku tidak mau melihatmu cemas sayang,
Aku mau melihatmu selalu tersenyum manis kepadaku di hari pernikahan Kita,”
kata Ara lirih. “Aku harap Aku bisa mengabulkan permohonanmu saat pertama kau
memintaku untuk memakai cincin ini,” katanya lagi seraya menatap cincin yang
keberikan satu tahun yang lalu. Air mataku menetes deras mendengar suara
lirihnya, Aku tidak lagi sanggup menjawab semua perkataannya, Aku menatapnya
dengan cemas. “Jangan ce…mas… sayang, Aku baik-baik saja, A…aku… akan
menunggumu di sana,” suara Ara mulai terbata. Aku semakin tidak tahu apa yang
harus kulakukan, Aku dilanda kesedihan dan kebingungan yang teramat sangat.
“Ja…ngan… sedih sayangku, maukah K…kau membimbingku mengucapkan syahadat di
telingaku? Suamiku? Ini permohonan terakhir dari Istrimu,” ucapnya dengan suara
yang semakin lemah. Sambil terisak Aku membimbing Istriku merampungkan
permohonannya. Nafasnya berakhir setelah selesai mengucapkan kata terakhir yang
kubisikkan di telinganya. Tuhan melalui malaikat-Nya telah menjemput Ara,
menjemput Istri yang begitu Kucinta.
Sore ini, tepat setahun pernikahan
Kami, setahun pula Ara telah pergi mendahuluiku. Kutatap segelas kopi hitam
dengan sedikit gula dihadapanku. Pelayan yang menggerutu tadi masih terlihat
sibuk sesekali terlihat malu saat melihatku yang mendengar gerutunya tentangku
tadi. Ya, disinilah Aku sendiri menikmati secangkir kopi dengan sedikit gula
kesukaanku dan Ara sambil menikmati prosesi terbenamnya mentari. Begitu sama
saat Aku bersamanya. Hanya saja sore ini dan seterusnya, Ara mentariku tak ada
lagi dikala aku menatap senja. Mentariku, tunggulah Aku di surga-Nya.
SELESAI