Playlist 20

Minggu, 23 Februari 2014

Cerpen "Secangkir Kopi dan Senja Tanpa Mentari"

Oleh Dedy Herwin Rendy (Vukalus)

            “Pesanan meja nomor tiga belas!” teriak seorang pelayan kedai kopi sore itu. “Kopi hitam dengan sedikit gula lagi? Orang yang sama?” tanya pelayan lainnya yang datang menghampiri seraya mengambil tempat kopi tersebut lalu beranjak mengantarkan pesananku. Ya, segelas kopi hitam dengan sedikit gula memang menu yang selalu kupesan ketika berada di kafe itu. Terlihat wajah pelayan yang tersipu malu saat mengantarkan pesananku karena baru sadar jarak antara mejaku dan tempatnya mengambil kopi pesanan tidaklah jauh. Aku hanya melemparkan senyum saat mengetahuinya, lalu kembali sibuk dengan kegiatanku seperti biasanya saat berada di kafe ini. Tidak banyak yang berbeda, terlalu sama seperti saat senja dikala itu. Aku mendengar suara yang lembut dari arah belakangku, arah dimana aku biasanya menghampiri pelayan dan memesan menu yang selalu kupesan di kafe ini. “Kopi hitam satu, gulanya sedikit saja ya,” kata suara itu masih sangat jelas terngiang-ngiang di telingaku. Entah sudah berapa lama waktu yang terlewati, gadis itu telah duduk di hadapanku. Hanya mejaku saja rupanya yang terdapat kursi kosong, takdir ataukah ketidaksengajaan? Aku tidak tahu itu, yang kutahu namanya Ara, mahasiswa semester awal di sebuah universitas negeri di kota ini. “Suka kopi juga?” katanya terlihat ingin berkenalan denganku. “Ya, tetapi tanpa gula,” sahutku. “Mengapa tanpa gula?” katanya lagi, terlihat jelas keingintahuannya saat menatapku. “Sesuai dengan hidupku, tidak manis sama sekali, pahit kopi terasa menyatu denganku saat kusruput tanpa sedikitpun manis teraduk di dalamnya,” kataku lagi. Ara langsung menyodorkan gelas kopinya, “Coba yang ini!” katanya lagi. Aku heran dengan kelakuannya saat itu, lalu kucoba menyeruput sedikit kopi di gelas yang tadi disodorkannya. “Saat pahitnya kopi menguasai lidah, perlahan ia akan lenyap dan digantikan oleh manisnya gula, begitu pula hidup, pahit bukanlah satu-satunya rasa yang akan kita rasakan, manisnya hidup juga pasti akan kita rasakan,” celotehnya panjang lebar saat aku meletakkan gelas kopi di hadapannya. “Akankah semanis gadis yang menyodorkan gelas kopi ini kepadaku?” kataku seraya tersenyum. “Ternyata selain seleramu yang tak jauh berbeda denganku, kau pintar menggoda juga ternyata,” katanya lagi. Kamipun tertawa bersama, sore itu tak akan pernah Kulupa. Meski senja kala itu tanpa mentari. Rasanya ada sinar lain yang menampakkan keindahannya di hadapanku.

            “Kopi hitamnya dua, gulanya sedikit saja,” kalimat itu selalu menjadi kebiasaan di setiap sore saat Aku dan Ara menghabiskan waktu menatap senja di kafe itu, sejak awal kami bertemu. “Bagaimana dengan kopinya? Masih pahit?” katanya menatapku. “Masih,” kataku seraya menyeruput kopi hitam di tanganku. “Tapi semuanya berganti menjadi manis saatku menatapmu,” kataku tersenyum padanya. Ara tersenyum manis saat itu, lalu tidak henti-hentinya mencubit pergelanganku. “Dasar gombal…! Mau sampai kapan Kamu terus menggodaku seperti itu?” Ara bertanya padaku. “Hari ini tepat tiga tahun kita bersama, sejak saat itu, saat Kamu pertama kali mencoba kopi dengan sedikit gula kesukaanku, dan terbukti kalau Kamu menyukainya. Akupun merasakan rasa yang sama seperti yang kau rasakan, apakah Kita ditakdirkan untuk ini semua?” katanya lagi. Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya saat itu, bukan hal yang biasa saat dia menanyakan hal seperti itu. “Mungkin… sebab Tuhan ingin menambahkan manisnya gula dalam kehidupanku yang terlampau pahit dikala dulu,” jawabku padanya sambil tersenyum. “Aku hanya berharap… senja ini akan selalu kunikmati dengan secangkir kopi hitam ditambah sedikit gula dan seorang gadis cantik yang kucinta berada di sampingku, sampai nanti, saat Tuhan berkendak mempertemukan kita di surga-Nya,” kataku lagi. “Dan… maukah Kau membantuku mewujudkan harapan itu?” kulanjutkan kata-kataku yang terhenti sejenak seraya menyodorkan kotak kecil berisi cincin kepada Ara. “Kau Serius?! A…aku… Aku tidak tahu harus berkata apa, apa Kau gila?” katanya sangat terkejut. “Ra, Kamu tidak perlu berkata apa-apa,” kataku menatapnya. “Cukup Kau ambil dan pasang cincin ini jika kau ingin mengabulkannya, atau kau juga bisa menutupnya jika memang itu sudah seharusnya,” kataku lagi. Tangannya bergetar saat mencoba menggapai cincin di tanganku, perlahan terlihat wajahnya yang membuatku cemas akan semua hal yang akan dilakukannya beberapa saat lagi. Aku berusaha melihat jawaban apa yang akan diberikan olehnya. Dan terjawab sudah, cincin sederhana yang kusodorkan padanya kini telah melingkar di jari manis gadis yang sangat Kusayangi. Senja itu Kami habiskan dengan menatap senja yang mengantarkan mentari dan membujuk bulan untuk segera menemani malam.

            “Sederhana saja, tapi Aku janji, bunga-bunga mawar akan memenuhi pernikahan kita nanti,” kataku pada Ara saat Kami berdua mendiskusikan tentang konsep pernikahan yang akan dilangsungkan tidak lama lagi. Kami berdua telah sepakat memilih tanggal pernikahan yang sama saat pertama kali kami bertemu, tahun keempat yang akan kami rayakan dengan akad suci beserta janji untuk saling menyayangi. Tepat tiga bulan lagi momen itu akan kami jalani. “Apapun yang kau pilih, pasti Aku akan menyukainya,” jawab Ara seraya tersenyum padaku.

            “Sayang, maaf sore ini Aku tidak bisa menemanimu menikmati senja,” suara Ara terdengar lemah saat Dia berbicara padaku lewat telepon genggamnya. “Ra, Kamu sakit? Sakit apa? Sudah ke dokter? Aku antar ya?” tanyaku sangat khawatir mendengar suaranya yang sudah jelas tergambar bahwa Dia tidaklah dalam keadaan yang baik-baik saja. “Tidak usah, tadi Mama sudah mengantarku untuk periksa, dokter hanya menyuruhku untuk banyak beristirahat, Kamu jangan khawatir ya, Aku baik-baik saja, Aku pasti cepat sembuh dan kembali menemanimu minum kopi dan menikmati mentari kala senja” jawabnya dari ujung sana.

            Hari yang dinantikan tiba, hari ini adalah hari pernikahan Kami. Aku terlalu gugup saat melihat wajah penghulu yang duduk tepat di hadapanku. Beruntung semua bisa kulewati dengan lancar sampai saat Ara yang kini telah sah menjadi istriku menunduk seraya mencium tanganku sebagai tanda bahwa Dia menghormatiku sebagai suami dan kepala keluarga dari akad yang baru saja dilangsungkan. Tubuhnya tiba-tiba lemah, lalu tersungkur ke pangkuanku. Ara pingsan, semua orang di dalam ruangan itu panik, termasuk Aku yang langsung menggendong dan membawanya ke rumah sakit. Betapa terkejutnya Aku, vonis dokter yang menyatakan bahwa tubuh Ara sudah tidak sanggup lagi menahan penyakit yang dideritanya. Kanker stadium akhir, rupanya Ara selalu menyembunyikannya dariku sejak awal. Dokter pun bercerita padaku kalau sebelumnya Ara menolak pengobatan khusus yang harus dijalani olehnya, semata karena hari ini adalah pernikahan Kami. “Aku tidak mau melihatmu cemas sayang, Aku mau melihatmu selalu tersenyum manis kepadaku di hari pernikahan Kita,” kata Ara lirih. “Aku harap Aku bisa mengabulkan permohonanmu saat pertama kau memintaku untuk memakai cincin ini,” katanya lagi seraya menatap cincin yang keberikan satu tahun yang lalu. Air mataku menetes deras mendengar suara lirihnya, Aku tidak lagi sanggup menjawab semua perkataannya, Aku menatapnya dengan cemas. “Jangan ce…mas… sayang, Aku baik-baik saja, A…aku… akan menunggumu di sana,” suara Ara mulai terbata. Aku semakin tidak tahu apa yang harus kulakukan, Aku dilanda kesedihan dan kebingungan yang teramat sangat. “Ja…ngan… sedih sayangku, maukah K…kau membimbingku mengucapkan syahadat di telingaku? Suamiku? Ini permohonan terakhir dari Istrimu,” ucapnya dengan suara yang semakin lemah. Sambil terisak Aku membimbing Istriku merampungkan permohonannya. Nafasnya berakhir setelah selesai mengucapkan kata terakhir yang kubisikkan di telinganya. Tuhan melalui malaikat-Nya telah menjemput Ara, menjemput Istri yang begitu Kucinta.

            Sore ini, tepat setahun pernikahan Kami, setahun pula Ara telah pergi mendahuluiku. Kutatap segelas kopi hitam dengan sedikit gula dihadapanku. Pelayan yang menggerutu tadi masih terlihat sibuk sesekali terlihat malu saat melihatku yang mendengar gerutunya tentangku tadi. Ya, disinilah Aku sendiri menikmati secangkir kopi dengan sedikit gula kesukaanku dan Ara sambil menikmati prosesi terbenamnya mentari. Begitu sama saat Aku bersamanya. Hanya saja sore ini dan seterusnya, Ara mentariku tak ada lagi dikala aku menatap senja. Mentariku, tunggulah Aku di surga-Nya.
SELESAI


Senin, 17 Februari 2014

Malam dan Alam

Rembulan nan Cemerlang.
Saksi bisu awan selimut alam.
Desir angin yang berlarian.
senandung senyap nyanyian malam.
Tarian api unggun berkobaran.
Bakar amarah kayu yang patah.
Kebersamaan lelap dalam senyap.
Menanti pagi yang kami harap membawakan mentari, ke tempat ini.

Tirai Hujan, 16 Februari 2014

"Tulisan ini terangkai saat bersama dalam satu renungan, seraya menikmati senyapnya malam sang alam"


Jumat, 14 Februari 2014

Si Penakut

Penakut tetaplah penakut.
Seorang yang takut tetap akan dianggap pengecut.
Kata berani seolah sumbu lilin yang tidak akan pernah tersulut.
Dalam ketakutan kini Aku bertekuk lutut.

Bagiku, sekali penakut pantaslah sudah sebagai pengecut.
Aku takut...

Aku terlalu takut untuk kehilangan dirimu.
Saat otak tak mau lagi kompromi dan tak sanggup menghapus semua memori.
Aku terlalu takut kata itu suatu saat tak akan terdengar lagi.
Aku takut...

Terlalu takut ku akan gelap sebab sebab tak ada lagi lentera dalam hati.
Lentera yang dahulu selalu menemani saat aku hanya seorang pengecut.
Aku takut...
Cahaya itu tak akan ada lagi...
Cahaya itu bukanlah untukku lagi...

Aku menginginkanmu...
Layaknya embun yang menantikan mentari saat bulan berkhianat dan beranjak pergi.
Tak ada keinginan yang terlampau suci selain permintaan ini.
aku menginginkanmu...
Layaknya gelap malam yang selalu ditemani penghuni alam.

Aku tak tahu lagi kata apa yang akan tertulis di lembar kertas ini.
Biarkan hati yang membimbing ujung penaku.
Sebab semua terampaikan hanya karenamu.
Berjejal, semakin memaksa untuk dituliskan.
Apakah kau juga seperti itu?
Sebab...
Disini Aku Takut kehilanganmu.
Terlalu pengecut Aku tanpa dirimu.
Hanya engkaulah lentera dalam gelap malamku.
Aku menginginkanmu.
Aku mencintaimu.

Banjarmasin, 14 Februari 2014

"Ditemani sebatang rokok, segelas kopi, lembaran kertas, pena, dan kerinduan yang mendalam"


Senin, 10 Februari 2014

Tentang Pagi dan Kerinduan

banyak yang berkata tentang cinta...
tentang keindahannya yang tiada dua...
tentang ceritanya yang penuh warna,,,
atau tentang kejutan yang tak pernah terduga,,,

beruntunglah mereka,,,
sebab mungkin hanya sebagian saja yang mengalaminya,,,
sebagian lagi tak mustahil ada dikebalikannya...
atau bahkan hanya bisa berharap semua itu menjadi nyata...

pagi ini berbisik lembut pada dedaunan,,,
dengan bebas menyatakan kerinduan...
mentari bersiap disatu sisi...
beri kejutan tentang hangatnya pelukan...

kali ini aku hanya bisa menatap iri,,,
sebatang rokok jadi pelampiasan kini...
gumpalan asap hembusku mantap...
gambarkan rindu yang kini telah menjadi candu...

asap itu perlahan naik ke atap...
tangan tergenggam namun tak bisa ku raih...
sama seperti pagi ini...
kau kurindukan dan tak bisa kunyatakan...

sebab kerinduan tak lagi pantas untuk kuucapkan...

Banjarmasin, 10 Februari 2014