Playlist 20

Selasa, 24 November 2015

Maafkan

Tuhan...
Jalan yang kami tapaki bukanlah jalan yang sepenuhnya suci...
Kadang bukanlah jalan yang selalu kau berkahi...
Tetapi kami berikrar di putaran loki yang tak terpuji...
Maafkanlah kami yaa robbi...
Di atas loki yang kau gerami... 
menua hingga nanti mati...
Grow old together...
Mengucap janji sampai mati...
Kami saudara yang abadi...

Banjarmasin, 
Sekretariat Stand Up Comedy South Borneo, 
22 November 2015

Sanja kuning

...
Sanja kuning di langit nang bakabut.
Sasak dada lamun bahinak.
Lainan jua nang dirasa humap.
Kuningnya sanja kadada lagi pamalinya.
Urang tuha kadada lagi nang manurutinya.
Dimapa am lagi kami nang anum?
Baapa kita maharap hujan banyu?
Lamun pas kita tatiharap nang kita dapat angin ribut mambawa kalalatu.
...

#MasihMelawanASAP


Banjarmasin, 14 oktober 2015

Tanpa Judul dengan Sejuta Makna.

Jika benar tulisan bisa menggetarkan hati seseorang.
Jika benar perkumpulan ini memanglah layaknya keluarga yang dipersatukan tanpa harus melalui hubungan darah.
Jika memang benar hanyalah mati dan keinginan sendiri yang bisa memutus aliran keluarga ini.
Maka aku ingin melihat, kakak-rekan-adikku yang terpisah dengan berbagai alasan berkumpul di tempat yang sama, misi yang sama serta visi yang serupa, kembali menjadi bagian di satu keluarga mengukir karya.


Teater Ilalang.
23 September 2003 - 23 September 2015
#1KeluargaRumahKe2

Komposisi

Ketika waktu bersekongkol dengan rindu yang tertuju padamu, 
tubuhku layaknya dihembus angin surga, namun 
perlahan angin itu pula yang mencekik 
udara yang masuk ke paru 
hingga maut menjemputku.
Bisakah kau bayangkan 
sakitnya?

Banjarmasin, 21 Agustus 2015

Seorang sahabat berkata...

Seorang sahabat berkata...
Seindah-indahnya cinta adalah cinta yang tak terucap oleh kata...
Dan sejatinya cinta, hanya beberapa yang dianugerahi pada pandangan kali pertama...
Beruntunglah insan yang merasakannya...

Banjarmasin, 16 Agustus 2015

Pendapat


Ada benarnya kata mereka.
Senja hanyalah sementara.
Jingganya akan segera sirna.
Indahnya pun hanya sebentar saja.

Banjarmasin, 15 Juli 2015

Coba Terka Siapa Dia?

Anak muda mengayuh sepeda tua,
Tongkrongannya tas slempang dengan resleting menganga,
Entah sudah rusak atau disengaja, 
Yang pasti majalah horison menyembul dari dalamnya.
Sepeda dikayuh hingga berpeluh.
Hingga keringat bertanding seperti telur puyuh.
Kayuh dan terus kayuh tak peduli kakipun melepuh.
Setelannya mutakhir, berupa celana gantung dan jaket yang lusuh.
Riyut-riyut bunyi sepedamu, melodi unik dari sekian banyak manusia di bumi rapuh.

Banjarmasin, 08 Mei 2015

Bermain Rima

Entah nanti neraka ataukah surga imbalannya...
Jangan coba mengekangku dalam duga...
Jangan mengubahku ke arah yang kalian minta...
Jangan pula mengucilkanku hanya karena kita berbeda...

Anak panah yang terlepas dari busurnya, membelah udara, berlomba dengan suara.
Ujung matanya tajam, siap menancap tembus dari kulit sampai ke ujung batu tempat sembunyi meringkuk.
Polos akhlaknya tanpa harus kenal dosa ataukah pahala.
Tanpa kenal ampun dari akar hingga ke pucuk.

Mata pisau diasah di atas batu.
Air matamu dan mataku melambangkan duka.
Perasaan yang tak pernah kembali menentu.
Bagai luka yang dibasuh dengan air cuka.

Sekali lagi kutekankan, jangan berpegang pada prasangka...!
Sebab hanya satu yang harus kalian percaya...
Sesederhananya cinta yang kupuja...
Rumitnya tali yang kita lilit di ujung cahaya...

Banjarmasin, 04 April 2015

Akan datang masanya,

kala kita tak akan pernah ingat lagi kapan kita tak sengaja berjumpa.
Akan tiba waktunya, senyummu dan senyumku hanya bermuatan luka saat kau dan aku saling menghujamkannya.
Derap langkah yang tercipta tak lagi sama.
Derapmu seirama dengan derapnya, dan derapku masih sama, sama seperti sediakala kau mengayunkan janji beserta langkah kakimu menjauh dari sini.
Lantas datang lagi lalu pergi untuk yang kesekian kali, saat keadaan sudah terkendali.
Bukanlah mainan, hati yang sedang kau mainkan.
Bukanlah syair untuk dinyanyikan, rintihan sebab sakit yang kau hidangkan.
Aku sudah terlalu lama duduk ditepian  ini, tepi yang mereka katakan diantara cinta dan benci.
Aku melangkah maka terceburlah.
Aku berdiam maka lemaslah.
Melangkah berarti mati, berdiam berarti maut siap melingkupi.


Banjarmasin, 24 Februari 2015

Minggu, 08 November 2015

Cinta Itu...

Cinta itu gila,
Ia bisa menghilangkan normalnya logika.

Cinta itu prasangka,
Ia bisa menebak tanpa mata harus terbuka.

Cinta itu tak kenal waktu,
Ia bisa datang di saat kau sudah membenciku.

Cinta itu tak tahu malu,
Ia bisa datang saat aku sudah tak berarti di matamu.

Cinta itu tak pantang menyerah,
Ia bisa terus maju tanpa kenal kata pasrah.

Cinta itu tak pernah takut,
Ia bisa menantang penciptanya tanpa sedikitpun menciut.

Cinta itu paling kuat,
Ia bisa bangkit walau badannya penuh luka sayat.

Cinta itu ada di dalam hatiku,
kunubuatkan untukmu,
akankah kau berikan untukku?


Banjarmasin, 08 November 2015

Selasa, 04 Agustus 2015

Lapisan Semu

Ketika mulut terbiasa mengucapkan kata Cinta, janganlah terpaku pada intensitasnya. 
Namun, coba telisik sedikit lebih dalam, lapis demi lapis atas kata yang di ucap. 
Tahukah kamu? 
Akan ada alasan yang hebat di dalam kata itu.
Sebab mampu membuatnya bertahan di lapisan dalam, lapisan yang tetap diam meski prasangka menghujam.
Adilkah kita jika menjatuhkan vonis atas kata cinta?
Benarkah kita atas perilaku yang belum kita tahu? ya... kita terlalu terpaku pada lapisan semu.
Lapisan itu, kita sebut dengan Penghakiman Atas Rindu.

Banjarmasin, 04 Agustus 2015

Minggu, 17 Mei 2015

apalah dayaku?

apalah dayaku, 
Senyummu masihlah menjadi senyumku.
bahagiamu mengalir bersama asaku.
tangismu air mataKu.
dukamu tetaplah deritaku.
yang berbeda hanyalah nyata dunia fana.
bahwa langkah ditentukan berbeDa.
entah siapa yang menentukannya.
entah apa yang dimaksud sang maha.
langkahmu menjauh, namun rasa tetap hiduP tak terbunuh.
aPalah lagi dayaku.
permataku berlalu, menghias khayal nan bias.
pergi, dari sini!

Banjarmasin, 17 Mei 2015

ada apa dengan huruf kapital tak beraturan di atas?

Selasa, 28 April 2015

Serupa Ucapan


DUA kaki yang tak pernah berhenti demi alam yang lestari.
BELAS angka yang menjadi acuan atas tujuan yang sama.
TAHUN demi tahun dilaluinya, angka pun dilambangkan atas usia.

Susah memang, namun hari inilah yang jadi buktinya.
Ibar-ibar yang tetap gagah membelah lautan yang tak selalu ramah.
Perasan air peluh bukanlah alasan untuk selalu mengeluh.
Atas nama lestarinya alam, kami harus bertahan.
Lamunan tuan puan yang harus jadi kenyataan.
Asas di atas alas segala kerja keras.

Soban akan terus ditumpuk, unggun demi unggun semalaman suntuk.
Euforia atas segala nikmat sang pencipta.
Weharima, teruslah ada disetiap hela nafasnya.
Akanlah terus bergema,
Nada rendah dan tinggi sebuah himne di bawah kibar bendera.
Getar dan getir setiap perjalanan,
Irislah ego kami tanpa sisa, hingga rasa pongah tak lagi menengadah.

Banjarmasin, 28 April 2015.
Untuk SEWANGI tercinta.

Nb:
Untuk kakak dan adik yang belum paham untuk apa puisi di atas, silahkan satukan kata dan huruf  kapital disetiap awal kalimat.
Kalaupun ada kata yang tidak dimengerti, dipersilakan untuk membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Semoga berkenan.

Salam Lestari…!!!
Lestari alamku,

Jayalah Sewangiku.


Senin, 20 April 2015

Tiga Bagian Sesudah Hujan.

Baru saja Aku dilewati oleh sang awan,
Tetes airnya kini telah hilang berjatuhan,
Cahaya senjapun kini bisa kupantulkan, 
Nikmatilah, saat kemelut awan sudah tak lagi berlarian.

Tetes airnya sedari tadi menghiasi pandanganmu,
Bergumpal dan bergumul menjadi satu,
Kepada apa pandanganmu tertuju?
Kepada siapa rindumu terpaku?
Saat hujan temani senjamu yang syahdu.

Beberapa inchi lagi terlihat dari sini,
Mendung nan kelabu siap menghampiri,
Cahaya jingga sedari tadi kunanti,
Mungkin segera akan berganti,
Dengan tetesan air yang jatuh ke bumi.

Banjarmasin, 20 April 2015


Tiga Bagian Sesudah Hujan


Senin, 13 April 2015

Rembulan Bertanya

Suatu ketika saat Rembulan bertanya;
“Kuasa apa yang telah diberikan oleh-Nya pada satu kata CINTA?”
Didatanginya Matahari saat mereka saling berpapasan untuk saling menggantikan, Namun Matahari ternyata malah bungkam, tak mengerti sedikitpun tentang arti.
Kembalilah Rembulan pada Malam, ditanyakannya hal yang sama, Malampun diam tak bisa menjawabnya.
Termenung sang Rembulan pada ribuan tanya, tetap saja kuasa kata cinta menyesakkan kantung penasarannya.
Semesta Alam kehilangan cahayanya, saat Alam dalam kelam ia menghampiri sang Rembulan dan mulai mengucap kegelisahan.
“Hal apakah yang membuat cahayamu tenggelam hingga menjelma serupa kelam wahai Rembulan yang selalu menerangiku?” Kata sang Alam.
“Apalah dayaku wahai Alam, kerut di dahiku sudahlah tak muat untuk menggambarkan kebingungan yang menyelimut pada kuasa yang diberikan-Nya pada satu kata Cinta”
“Kebingungan itu akan menjawab sebab mengapa makhluk ciptaan-Nya rela berkorban walau bisa saja sia-sia, dan mereka berkata cintalah asal muasalnya bermuara” , begitu panjangnya kegelisahan menyeruak dari mulut sang bulan.
“Tak sampailah nalarku mengenai alasan apa yang Tuhan akan berikan jika kau menanyakannya wahai sang Rembulan” kata sang Alam tertunduk lesu di depan Rembulan.
Gontai sang Rembulan melangkah pergi untuk digantikan Mentari, namun langkahnya terhenti saat mendengar bisik dari sang Embun.
“Mengapa kau terus mencari wahai temaram Rembulanku? Bukankah Aku, Kau dan Cinta adalah hal yang sama? Kita adalah satu”, kata suara itu.
“Siapakah engkau? Wahai tuan tak berwujud?”, tanya sang Rembulan.
“Aku hanyalah setetes Embun di atas lebarnya Daun, bukankah seharusnya kau sudah tahu tentang apa yang kau ingin tahu wahai Rembulan?”, Jawab si Embun.
“Aku tak bisa menjawab seutuhnya, tapi mungkin Kau akan menemukan jawabannya. Aku, Kau dan Cinta adalah hal yang tak jauh berbeda. Aku akan hilang saat pagi menjelang sebab Mentari yang mulai menyengat, namun Aku akan tetap datang saat dingin Malam memeluk Dedaunan. Kau serupa, cahaya darimu akan hilang digantikan benderangnya Mentari, namun Kau tetap akan datang kembali, sebab Malam terlalu gelap saat Mentari pergi dari sini. Begitu pula dengan Cinta, bukankah kita bertiga serupa?” Celoteh sang Embun saat Mentari mulai menguapkannya.
 Rembulan termenung, kemudian tersenyum, keingintahuannya kini terpenuhi saat dirinya hilang digantikan sang Mentari.


Banjarmasin, 13 April 2015

Sabtu, 11 April 2015

Sepasang Bertolak Belakang

Akan datang masanya, kala kita tak akan pernah ingat lagi kapan kita tak sengaja berjumpa. 
Akan tiba waktunya, senyummu dan senyumku hanya bermuatan luka saat kau dan aku saling menghujamkannya. 
Derap langkah yang tercipta tak lagi sama. 
Derapmu seirama dengan derapnya, dan derapku masih sama, sama seperti sediakala kau mengayunkan janji beserta langkah kakimu menjauh dari sini. 
Lantas datang lagi lalu pergi untuk yang kesekian kali, saat keadaan sudah terkendali. 
Bukanlah mainan, hati yang sedang kau mainkan. 
Bukanlah syair untuk dinyanyikan, rintihan sebab sakit yang kau hidangkan. 
Aku sudah terlalu lama duduk ditepian ini, tepi yang mereka katakan diantara cinta dan benci. 
Aku melangkah maka terceburlah. 
Aku berdiam maka lemaslah. 
Melangkah berarti mati. 
Tetap diam berarti maut siap melingkupi.

Banjarmasin, 09 April 2015

Rabu, 11 Maret 2015

Dua Puluh Tiga di Sebelas Maret

Terima kasih untuk semua peluang.
Terima kasih untuk semua penghalang.
Terima kasih untuk senyuman.
Terima kasih untuk cacian.
Terima kasih untuk kebahagiaan.
Terima kasih pula untuk kesakitan.

Terima kasih untuk kemarin, hari ini dan yang akan datang.


Banjarmasin, 11 Maret 2015

Kamis, 22 Januari 2015

Sebuah Kalimat akhiran…



Sebab sembunyi menyakitkan, lantas kukuburkan.
Sebab sembunyi hanya menjadikanku penghalang, lantas kukuburkan.
Sebab sembunyi tak akan memperbaiki keadaan, lantas kukuburkan. Dan…
Sebab sembunyi hanya membuatmu tak tenang, lantas kukuburkan.

Ucap berkata usap rasa dalam dada.
Cermin setia kata yang masih bertahta.
Tubuhku mungkin terlalu banyak mencampurmu dengan dosa.
Sebab kesempatan berpuluh kali telah kusiakan.

Kau tahu, penghalang apa yang sedari dulu ada di jalan yang terbentang.
Sebab itulah aku tak akan datang.
Maaf, jika terlalu kupaksakan.
Sebab jika tak dipaksakan, tak akan mudah kau dilepaskan.
Sebab jika kau tak dilepaskan, semakin banyak dosa yang kucampurkan.
Berbahagialah dengan pilihan.


Banjarmasin, 20 Januari 2015


Postingan ini juga sebagai AKHIRAN dari tag "SEDIKIT kisah dari PANJANGnya PERJALANAN"

Sabtu, 03 Januari 2015

Atas Dosa

Petunjuk pagi.
Nyanyian alam.
Tarian mimpi.
Teriakan malam.

Matanya tajam, iris Aku hanya dengan kerlingan.
Pandangannya lekat, pekat racun ditubuhku.
Setetes air jatuh saat ia terpejam, gelap dunia tak bisa kumaafkan.
Nanar matanya jelaskan semua.

Jejal omongannya penuhi alam mimpi.
Sungging senyumnya, lebih manis dari madu lebah Apis Dorsata.
Manja tuturnya, hujam Aku tanpa boleh berfikir sehat dahulu.
Ah perempuanku, senyummu itu bak busur panah yang melesak, menembus dada sang panglima dari pasukan yang telah siap kalah.

Aku pernah mencoba melangkah dan meninggalkanmu.
Juga pernah berlagak pongah seakan telah melupakanmu.
Tapi Jahanamlah namanya, neraka yang menyiksaku atas dosa itu.
Dewata pun ikut murka, sebab pernah kuteteskan air dari mata indahmu.

Impaskah menurutmu?
Saat kau perangkap aku dengan rindu.
Penyesalan yang berserakan akibat ulahku menyiakanmu dulu?
Tak bergunalah aku, muram pagiku, tanpa Kau yang tak lagi mau kembali temani senjaku.

Banjarmasin, 26 Oktober