Playlist 20

Selasa, 28 April 2015

Serupa Ucapan


DUA kaki yang tak pernah berhenti demi alam yang lestari.
BELAS angka yang menjadi acuan atas tujuan yang sama.
TAHUN demi tahun dilaluinya, angka pun dilambangkan atas usia.

Susah memang, namun hari inilah yang jadi buktinya.
Ibar-ibar yang tetap gagah membelah lautan yang tak selalu ramah.
Perasan air peluh bukanlah alasan untuk selalu mengeluh.
Atas nama lestarinya alam, kami harus bertahan.
Lamunan tuan puan yang harus jadi kenyataan.
Asas di atas alas segala kerja keras.

Soban akan terus ditumpuk, unggun demi unggun semalaman suntuk.
Euforia atas segala nikmat sang pencipta.
Weharima, teruslah ada disetiap hela nafasnya.
Akanlah terus bergema,
Nada rendah dan tinggi sebuah himne di bawah kibar bendera.
Getar dan getir setiap perjalanan,
Irislah ego kami tanpa sisa, hingga rasa pongah tak lagi menengadah.

Banjarmasin, 28 April 2015.
Untuk SEWANGI tercinta.

Nb:
Untuk kakak dan adik yang belum paham untuk apa puisi di atas, silahkan satukan kata dan huruf  kapital disetiap awal kalimat.
Kalaupun ada kata yang tidak dimengerti, dipersilakan untuk membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Semoga berkenan.

Salam Lestari…!!!
Lestari alamku,

Jayalah Sewangiku.


Senin, 20 April 2015

Tiga Bagian Sesudah Hujan.

Baru saja Aku dilewati oleh sang awan,
Tetes airnya kini telah hilang berjatuhan,
Cahaya senjapun kini bisa kupantulkan, 
Nikmatilah, saat kemelut awan sudah tak lagi berlarian.

Tetes airnya sedari tadi menghiasi pandanganmu,
Bergumpal dan bergumul menjadi satu,
Kepada apa pandanganmu tertuju?
Kepada siapa rindumu terpaku?
Saat hujan temani senjamu yang syahdu.

Beberapa inchi lagi terlihat dari sini,
Mendung nan kelabu siap menghampiri,
Cahaya jingga sedari tadi kunanti,
Mungkin segera akan berganti,
Dengan tetesan air yang jatuh ke bumi.

Banjarmasin, 20 April 2015


Tiga Bagian Sesudah Hujan


Senin, 13 April 2015

Rembulan Bertanya

Suatu ketika saat Rembulan bertanya;
“Kuasa apa yang telah diberikan oleh-Nya pada satu kata CINTA?”
Didatanginya Matahari saat mereka saling berpapasan untuk saling menggantikan, Namun Matahari ternyata malah bungkam, tak mengerti sedikitpun tentang arti.
Kembalilah Rembulan pada Malam, ditanyakannya hal yang sama, Malampun diam tak bisa menjawabnya.
Termenung sang Rembulan pada ribuan tanya, tetap saja kuasa kata cinta menyesakkan kantung penasarannya.
Semesta Alam kehilangan cahayanya, saat Alam dalam kelam ia menghampiri sang Rembulan dan mulai mengucap kegelisahan.
“Hal apakah yang membuat cahayamu tenggelam hingga menjelma serupa kelam wahai Rembulan yang selalu menerangiku?” Kata sang Alam.
“Apalah dayaku wahai Alam, kerut di dahiku sudahlah tak muat untuk menggambarkan kebingungan yang menyelimut pada kuasa yang diberikan-Nya pada satu kata Cinta”
“Kebingungan itu akan menjawab sebab mengapa makhluk ciptaan-Nya rela berkorban walau bisa saja sia-sia, dan mereka berkata cintalah asal muasalnya bermuara” , begitu panjangnya kegelisahan menyeruak dari mulut sang bulan.
“Tak sampailah nalarku mengenai alasan apa yang Tuhan akan berikan jika kau menanyakannya wahai sang Rembulan” kata sang Alam tertunduk lesu di depan Rembulan.
Gontai sang Rembulan melangkah pergi untuk digantikan Mentari, namun langkahnya terhenti saat mendengar bisik dari sang Embun.
“Mengapa kau terus mencari wahai temaram Rembulanku? Bukankah Aku, Kau dan Cinta adalah hal yang sama? Kita adalah satu”, kata suara itu.
“Siapakah engkau? Wahai tuan tak berwujud?”, tanya sang Rembulan.
“Aku hanyalah setetes Embun di atas lebarnya Daun, bukankah seharusnya kau sudah tahu tentang apa yang kau ingin tahu wahai Rembulan?”, Jawab si Embun.
“Aku tak bisa menjawab seutuhnya, tapi mungkin Kau akan menemukan jawabannya. Aku, Kau dan Cinta adalah hal yang tak jauh berbeda. Aku akan hilang saat pagi menjelang sebab Mentari yang mulai menyengat, namun Aku akan tetap datang saat dingin Malam memeluk Dedaunan. Kau serupa, cahaya darimu akan hilang digantikan benderangnya Mentari, namun Kau tetap akan datang kembali, sebab Malam terlalu gelap saat Mentari pergi dari sini. Begitu pula dengan Cinta, bukankah kita bertiga serupa?” Celoteh sang Embun saat Mentari mulai menguapkannya.
 Rembulan termenung, kemudian tersenyum, keingintahuannya kini terpenuhi saat dirinya hilang digantikan sang Mentari.


Banjarmasin, 13 April 2015

Sabtu, 11 April 2015

Sepasang Bertolak Belakang

Akan datang masanya, kala kita tak akan pernah ingat lagi kapan kita tak sengaja berjumpa. 
Akan tiba waktunya, senyummu dan senyumku hanya bermuatan luka saat kau dan aku saling menghujamkannya. 
Derap langkah yang tercipta tak lagi sama. 
Derapmu seirama dengan derapnya, dan derapku masih sama, sama seperti sediakala kau mengayunkan janji beserta langkah kakimu menjauh dari sini. 
Lantas datang lagi lalu pergi untuk yang kesekian kali, saat keadaan sudah terkendali. 
Bukanlah mainan, hati yang sedang kau mainkan. 
Bukanlah syair untuk dinyanyikan, rintihan sebab sakit yang kau hidangkan. 
Aku sudah terlalu lama duduk ditepian ini, tepi yang mereka katakan diantara cinta dan benci. 
Aku melangkah maka terceburlah. 
Aku berdiam maka lemaslah. 
Melangkah berarti mati. 
Tetap diam berarti maut siap melingkupi.

Banjarmasin, 09 April 2015