Playlist 20

Minggu, 24 Agustus 2014

Malam Berbincang pada Pagi

Tetaplah disini dan jangan pergi lagi...
Satu kalimat yang pernah kuucapkan namun tidak bisa kita wujudkan...
Kau pergi dan harapku pun bersemi...
Selalu kukatakan, kalimat demi kalimat layaknya doa kulantunkan...
Setiap pagi belum tentu sudah kupanen mimpi...
Mata tidaklah terpejam, khayalan beruntun berdatangan...
Ya... Aku membayangkan kau hadir disini...
Saling menatap mata dan semakin erat kita bergenggaman tangan...
Sampai kapankah malam berlalu seperti ini...???
Seakan tak bosan, malam hingga pagi berteman dengan khayalan...
Sampai kapan alasan masih tetap terpatri...???
Pengganti kata ego yang kau terus saja sebut sebagai alasan...


Banjarmasin, 24 Agustus 2014

Sabtu, 23 Agustus 2014

Tempat yang Dulu kau Datangi

Tempat ini sudahlah tidak asing lagi bagiku...
Tentu juga bagimu...
Disinilah tempat dimana kita pertama dan terbiasa melantunkan syair kerinduan...
Yang setiap lariknya kau isi dengan nada indah, selalu bertumpah ruah...
Di tempat inilah, dimana pertama kali kau tanamkan perasaan sayang serta kau taburi pupuk kedamaian...
Di tempat inilah, kini sudah menjulang tinggi, teduh pohon asa kita berupa impian...
Tempat ini kini sepi...
Menjelma menjadi sunyi bak malam gelap tanpa sinar rembulan setelah kau pergi...
Hanya aku yang kini berada disini...
Duduk bersila dengan wajah menunduk tak berdaya...
Tempat ini kini tak teduh lagi...
Sebab teduhnya ranting mimpi tak tumbuh lagi tanpa pupuk yang dulu kau taburi...
Di tempat ini kini aku sendiri...
Masih ingatkah kau tempat ini?
Dulunya, tempat ini sering kita sebut dengan HATI...

Banjarmasin, 23 Agustus 2014

Minggu, 03 Agustus 2014

Bukankah Kita...

Bukankah kita sudah terlalu terbiasa akan tekanan keadaan yang sering kita panggil dengan kenyataan?
Bukankah kita sudah terlalu terbiasa menjalani kejanggalan sebuah sapaan setiap harinya?
Bukankah kita sudah terlalu terbiasa melihat dan kemudian berpura-pura buta dan memalingkan muka?
Bukankah kita sudah terlalu terbiasa melangkahkan kaki dan kemudian berhenti tepat sebelum kaki menjadaptkan pijakan?
Bukankah kita sudah terlalu terbiasa menampar dengan tangan kiri dan kemudian mendaratkan pukulan di wajah kita sendiri?
Bukankah kita sudah terlalu terbiasa membuat orang lain menangis tanpa sadar bahwa air mata yang menetes sudahlah tidak asing lagi?
Bukankah kita sudah terlalu terbiasa berlari dari tempat semula kita berdiri, tersesat lalu tanpa sadar sudah kembali berdiri di awal permulaan kita berlari?
dan bukankah kita sudah terlalu terbiasa seperti ini?


Batulicin, 3 Agustus 2014