Playlist 20

Rabu, 02 April 2014

Dua Beda "Benci dan Cinta"

Benci dan cinta tidaklah jauh berbeda.
Bahkan bagiku keduanya hampir serupa.
Adakala saat seseorang pria selalu memperhatikan gerak-gerik lawan jenisnya,
lalu tanpa sadar tersenyum karenanya...
Itulah Cinta.
Adapula seorang gadis yang terlalu merasa risih akan orang yang memperhatikannya,
sampai pada suatu waktu ia telah khatam tempat dan waktu itu...
Bisakah kita sebut benci?
Ataukah ia sangat menikmati?
Pernah juga ada saat dimana sepasang kekasih haruslah berakhir pada titik yang sama sekali tidak terfikir,
baik oleh otak maupun hati nurani...
Apakah karena Benci?
Ataukah disebabkan esensi dari cinta mereka yang terlalu tinggi?
Saya pernah membayangkan suatu saat dimana seseorang selalu memperhatikan gerak-gerik orang yang selalu diamatinya.
Apakah itu cinta?
Ataukah hanya sebatas strategi atau bahkan sekedar basa-basi tentang bagaimana nanti memukul jatuh lawan saingnya?
Dan pada akhirnya, jawaban selalu saja tertumpuk pada diri kita.
Bagaimanakah benci...
Bagaimanakah cinta...
Seperti apa benci...
Seperti apa cinta...
Seindah bagaimanakah benci...
Seburuk apakah cinta...
Akankah ada cerita tentang benci...
Akankah musnah cerita tentang cinta...
Aku menikmati semuanya...

Banjarmasin, 2 April 2014

Selasa, 01 April 2014

Tentang Sebuah Jawaban

Seringkali begitu banyak pertanyaan yang bersemayam dalam pikiran.
Padahal, cukup satu jawaban yang kubutuhkan.
Tapi, pertanyaan itu kini kembali datang.
Lalu-lalang pergi lalu datang tertumpuk di draft pertanyaan.
Hampir bersamaan, perasaanku perlahan mulailah tak tenang.
Ketidaktenangan yang setiap detiknya menambah kebingungan.
Otakku sesak... mencari jawaban dari setiap pertanyaan.
Tapi kalaku semakin memikirkan... maka semakin jauh aku akan jawaban.
Jawaban atas semua pertanyaanku telah hilang.
Jawaban atas semua pertanyaan yang kini tak lagi bisa kutemukan.
Kakiku lemah seakan tak lagi sanggup berjalan.
Tanganku tak lagi sanggup untuk hanya sekedar menggenggam.
Nafasku terengah... meski kini aku terkungkung dalam diam.
Jawaban atas semua pertanyaanku kini telah hilang.
Tak ada lagi yang bisa menjawab semua, yang mereka sebut dengan pertanyaan.
Jawaban atas semua pertanyaanku telah hilang.
Jawaban atas semua pertanyaan yang kini tak lagi bisa kutemukan.
Jawaban, yang walau hanya satu... tapi bisa menjawab semua pertanyaan.

Mandiangin, 29 Maret 2014

Taman Hutan Raya Sultan Adam (mandiangin, Repeater)

Pendapat belum tentu semuanya benar. Ya, Saya masih percaya hal itu. Buktinya? Ada satu pendapat orang tentang akhir pekan. "Akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk bersantai". Tidak sepenuhnya benar, tidak sepenuhnya juga salah. Mengapa? Karena hal tersebut telah menimpa saya, dimulai dari senin yang menandakan dimulainya kesibukan Saya, hingga Jumat dimana kesibukan hilir mudik terus menggoda. Bukankah hari itu dipenghujung menyambut akhir pekan? ah, lelahlah yang saya dapatkan. Untungnya badan masih bisa diajak berteman, meski hati dan perasaan tidaklah serupa demikian. 

Kata orang, "adalah hal yang tepat untuk sesekali memanjakan badan dan fikiran". Tentu juga setiap orang punya cara dan kebiasaan sendiri dalam melakukannya, seperti halnya Saya, dan juga Mereka. Sabtu 29 Maret 2014 sesuai dengan rencana, Kami sekumpulan orang yang suka bermalam di alam bebas merencanakan untuk pergi bersama ke Taman Hutan Raya Sultan Adam (Mandiangin) atau lebih tepatnya di Repeater (berjarak sekitar setengah jam dari Tengger). Waktu dan tempat berkumpul sudah ditentukan untuk bersama menuju Banjarbaru atau tempat pertemuan kami dengan teman-teman yang lain sebelum pergi bersama ke Mandiangin. Namun naas, rasa lelah kini yang menghambatnya, Saya baru terbangun pukul setengah satu siang, setengah jam sebelum waktu yang sudah dijanjikan. Perlengkapan belum siap, tas belum tersusun, motor belum diperbaiki, dan segala macam hal semakin memperlambat segala urusan. Alhasil jam dua siang barulah Saya bisa ke tempat yang sudah dijanjikan, untungnya teman-teman masih bersabar menunggu kedatangan Saya. Kamipu bergesa menuju Banjarbaru.

Kurang lebih pukul tiga sore kami menginjakkan kaki di tempat berkumpul yang kedua, satu-persatu teman datang, bercengkrama seraya menunggu yang lainnya, dan setelah semua persiapan dilakukan, kamipun bergegas menuju Mandiangin. Saya masih ingat, jam di telepon genggam Saya menunjukkan pukul empat kurang lima belas menit, Kami sampai kolam Belanda, tempat yang katanya dahulu kala memang dijadikan sebagai tempat pemandian bagi para tentara Belanda. Ada sedikit masalah di tempat ini, Kami yang awalnya berencana membawa motor hingga tempat tujuan (repeater) ternyata tidak diperbolehkan membawa motor dan harus menitipkannya di warung dekat kolam tersebut. Perjalanan tidaklah sebentar, jika Kami menaiki perbukitan ke tempat tersebut, mungkin akan memakan waktu dua sampai dua setengah jam. Demi mengejar proses terbenamnya mentari, Kami tidaklah lagi berpikir panjang dan langsung memulai perjalanan.

Bisikan doa lalu dilanjutkan dengan sorakan tanda akan dimulainya perjalanan sudah kami lakukan. Kakipun telah melangkah melewati pintu gerbang dimana perjalanan telah Kami lakukan. Banyak hal yang Kami alami diperjalanan, tidak hanya sekali beberapa orang menyatakan rasa lelah dan kemudian memberikan jatah istirahat pada kaki yang mulai bergetar. Wajar, jalan yang kami lalui adalah perbukitan yang cukup terjal, hanya beberapa jalan landai yang Kami temui, tidak terasa setengah perjalanan sudah Kami lalui, sedikit lagi untuk menyaksikan prosesi terbenamnya mentari. Entah pukul berapa Kami sampai di puncak Repeater, hal yang Saya ingat adalah ketika tinggal beberapa langkah lagi Kami sampai disana, bergegas mengambil langkah dan berlari sampai tempat yang dituju, lalu berteriak tanda puas, dan tidak lama mentari pun menepati janjinya. 

Segala sesuatu yang perlu disiapkan kini telah hampir selesai, kopi sudah ada di tangan, tinggal mengantarkan mentari yang akan segera pulang. Kami larut dalam kedamaian yang alam suguhkan, hingga alam berselimut malam. Senja beranjak, malam kini telah bertahta, tidak terduga hujan menyapa, Kami bersiap menghadapi kemungkinan yang ada. Seraya mengamankan semua peralatan, beberapa teman menyapkan makan malam, dan tahukah kalian? makan bersama diatas alas dan tempat yang sama adalah satu momen yang paling berharga kala itu. Sayangnya, Saya tidak bisa terlalu menikmatinya, karena memang perut belum minta jatahnya. Hujan memang membawa berkah, entah mengapa, api unggun yang tadi terkena hujan telah membesar selepas hujan reda, yang artinya bara-bara api yang membara telah setuju menjaga Kami semua hingga pagi tiba. Tapi, adapula kejadian lainnya yang sama sekali tidak Kami duga, karena tanah yang basah akibat hujan tadi, ternyata para kelabang yang bersarang tidak jauh dari tempat Kami beristirahat berbondong-bondong naik ke tempat dimana kami beristirahat, sontak teriakan "Kelabang Army" di teriakkan oleh teman-teman. Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa teman berinisiatif untuk membuat satu lagi api unggun di samping tempat Kami beristirahat. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, perut Saya barulah merasakan lapar, api unggun pun jadi sarana untuk memasak bahan pangan yang telah tersedia. Sekali lagi Saya merasakan nikmatnya makan bersama teman.

Para kelabang sudah bisa dikendalikan, perut sudah kenyang, dan api unggun sedari tadi menghangatkan. Sungguh malam yang syahdu dengan bintang yang bertaburan. Hanya saja angin terus berlarian dan menitipkan salam dari dinginnya malam. Beberapa teman telah pulas dalam mimpinya, beberapa lagi termasuk Saya masih menikmati malam. Kami benyanyi, tertawa, dan bercerita bersama. Tentang segala hal, dari yang menggelitik hingga bisa membuat mata berkaca-kaca. Saya masihlah ingat bagaimana cara Kami bercerita. Menceritakan hal sedih dengan cara yang berbeda, sekali-kali tertawa bersama. berbagai cerita yang didengar oleh telinga, hanya sekedar melepaskan beban yang mungkin saja tidak tertahan. Atau hanya sekedar sebuah hiburan.

Malam beranjak pergi, mentari mulai mengintip sedari tadi. Kembali Saya menyiapkan segelas kopi, demi menghangatkan badan dan bersiap menyambut mentari. Teman yang lain sudah terjaga, Kami semua kembali larut dalam keindahan alam Sang Pencipta. Beberapa teman mulai mengabadikannya, berfoto bersama, bercanda dan banyak lagi yang lainnya. Tiba-tiba Saya tertegun, dan entah mulai kapan, Saya duduk di sebuah batu tidak jauh dari mereka, banyak sekali hal yang terlintas dikepala, hingga tidak sadar mata mulai berkaca-kaca. Tidaklah banyak yang Saya ingat tentang apa yang mereka lakukan, yang Saya ingat hanya seruan Fajar teman saya yang berceletuk bahwa Saya telah meneteskan air mata, setelah itu saya larut dalam lamunan dan sejuta hal lainnya yang menguasai seluruh badan. Indah memang ciptaanmu Tuhan.

Mentari mulai meninggi, rasa kantuk tidak tertahan lagi, Saya beranjak ketempat dimana tadi malam teman-teman beristirahat, membalut tubuh dengan kantung tidur lalu terbuai dengan mimpi. Entah berapa lama Saya terlelap, beberapa bisikan mulai membangunkan indahnya buaian mimpi, ternyata teman-teman Saya telah menyuguhkan mie rebus yang sedari tadi ternyata sudah disuguhkan. Suapa pertama Saya merasakan rasa yang berbeda, mie yang Saya makan agak asam. Tapi, untuk menghargai masakan yang disuguhkan, Saya tidak lagi memperdulikannya. Benar saja, tepat satu sendok lagi sebelum mie yang Saya makan habis, teman-teman Saya bertanya, "Apa rasanya lus mie yang kadaluarsa?". Astagaaa... ternyata salah satu dari mie yang tercampur dalam makanan tadi sudah kadaluarsa, dan hal itu hanya diketahui oleh teman Saya yang memasaknya namun sengaja diam dan tidak memberitahukannya kepada Saya terlebih dahulu sebelum terlanjur melahap habis mie rebus tadi. sontak mereka semua tertawa terbahak-bahak melihat Saya yang telah menghabiskan hidangan tersebut. Yah, Saya hanya bisa tersipu malu melihat semuanya.

Akhirnya Kamipun harus beranjak meninggalkan tempat tersebut, tapi sebelumnya sesuai dengan kesepakatan. Kami bersama-sama membersihkan tempat tersebut dari sampah yang berserakan. Ironis memang, tempat seperti itu dikotori oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Setelah bersih kamipun beranjak kembali ke kloam belanda. Sesampainya disana, rasa lelah kami bayar lunas dengan mandi bersama di kolam. Sempat sekali Saya mencoba terjun dari atas kolam, padahal Saya tidak bisa berenang, tapi dengan janji akan diselamatkan Sayapun memberanikan diri untuk melakukannya. Ternyata memang kejahilan teman-teman Saya tidak ada habisnya. Mengetahui Saya yang tidak bisa berenang, mereka menyeret Saya ke tengah kolam dan meneriakkan ucapan selamat ulang tahun. Padahal ulang tahun Saya sudahlah lama terlewat. Hahaha, ada-ada saja.

Selesai mandi, ganti baju dan istirahat sebentar. Maka sudah semestinyalah Kami semua berpisah, kembali ke habitat masing-masing, beristirahat lalu kembali menantang hari. Pengalaman itu, kejadian demi kejadian yang Saya alami tidaklah pernah akan terlupakan. Terima kasih teman-teman atas semua kejadian yang telah kita alami bersama. 

Banjarmasin, 1 April 2014